MENJADI IBU, ANTARA RAPUH DAN TANGGUH


Oleh : Miarti Yoga
(Early Childhood Consultant)

Bongkahan rasa ada padanya. Pada seorang perempuan bernama Ibu. Sejarah pun melegenda atas tangguh dan sabarnya. Hingga air mata terus terurai mengingati perjalanannya.

Berbagai rupa mengemuka sejagat dunia. Pribadi berbeda pada setiap mereka. Pada sosok perempuan yang di telapak kakinya surga terbuka.

Dramatisnya kisah Hajar bukanlah rekayasa atau kisah yang mengada-ada. Melainkan pesan mendalam bagi perempuan pada generasi manapun untuk dapat menjalani tantangan dan segala kerumitan dengan sabar dan percaya. Maka lebih dari wajar jika tangguhnya terabadikan hingga kini dalam rangkaian ibadah haji bernama sa’i –mengarungi bukit Shafa dan Marwa-. Manalah mungkin Allah hadirkan air zamzam yang hingga kini melimpah ruah kalau bukan sebagai hadiah atas dahsyatnya kebersediaan Hajar pada sebuah titah mulia. Disitulah sikap terbaik dan keabadian sejarah terkorelasi dengan sempurna.

Langkah terantuknya Bunda Hajar pun menjadi analogi istimewa pada dunia, dimana Allah distribusikan pesan pada kaum perempuan –para ibu khususnya- untuk mampu bersabar dengan ujian yang menerpa. Jika seorang Hajar bisa, maka perempuan manapun tentu bisa. Mungkin begitulah idealisnya. Meski beragam apologi bertaut dengan keinginan untuk dimaklumi bahwa masa yang dilewati Bunda Hajar dengan masa yang kita lewati adalah berbeda.

Para perempuan pun sudah disediakan surga atas perjuangannya dalam prosesi melahirkan. Ia meregang nyawa dalam mulas yang sangat menggilas. Keringat yang membulir dan tarikan nafas yang hebat membuatnya hampir kehilangan tenaga. Antara selamat dan ajal, menjadi perterungan rasa yang penuh cerita. Antara keinginan untuk berteriak atas mulas yang tak terkira dengan komitmen untuk menyikapi sakit dengan tenang dan wajar, kadang-kadang menjadi pertarungan rasa yang tak biasa.

Pun saat bayi terlahir. Sejuta tugas menghadap padanya. Bahkan malam pun hanya sebagian saja dia nikmati. Karena rengekan lapar sang bayi membangunkannya tanpa kompromi.

Tak terukur banyaknya, cinta dan air mata yang mengalir darinya. Banyak jejak yang membekas pada siapapun yang dicintainya. Namun “kenyelenehan” pun bukan tak ada pada mereka. Entah bisikan syetan yang terlampau berkuasa, atau rasa penasaran yang tiba-tiba membahana, atau beban kebutuhan yang kian menguat dan menggejala, atau rasa kecewa yang menjadi penyebab amoral itu bermula.

Perselingkuhan telah menjadi grafiti dimana telah tak ada rahasia pada penampakannya. Bukan saja terjadi pada mereka yang terbiasa direkam media dan berita, namun pada perempuan yang jauh dari ingar bingar keartisan sama sekali. Berdalih rasa kecewa atau ketakpuasan akan nafkah yang diterima, selingkuh menjadi pilihan utama. Keluarga pun menjadi tak lagi berwibawa karenanya. Anak-anak tercedarai dan terlukai perasaannya.

Sebegitu ringkihkah keyakinan yang mereka punya, sehingga terlalu ragu akan Maha Besarnya pertolongan Allah sang Maha kaya. Sebegitu tak bermaknanya ayah dari anak-anak mereka hingga rela ditinggalkan demi sebuah kepuasan. Sudahkah logika beterbangan hingga merasa tak salah atas pilihannya dalam melukai batin suami sendiri dan memberangus kebahagiaan istri orang. Masya Allah.

Sebagian diantara mereka pun rela menghias media. Dengan jaminan pamrih yang jutaan nilainya, mereka tak pikir panjang untuk mengumbar bagian-bagian yang tak halal dilihat dan terlihat oleh selain mahramnya. Pada tabloid picisan, pada video klip murahan, pada arisan “esek-esek”, pada layanan kencan via sosial media, mereka ada dan menjadi alat terpercaya. Mereka mati rasa dari hukuman Tuhan yang jelas nyata. Dan tersingkir sudah bayangan panasnya api petaka demi lembaran rupiah yang memesona. Naudzubillah...

Entah kata apalagi yang lebih mampu mewakili kata “miris” saat ribuan mereka terbang ke mancanegara untuk peroleh rasa gembira. Sementara pembudakanlah yang mereka harus terima. Bahkan tinggallah nama saat mereka pulang ke kampung halamannya. Karena jasad ringkihnya telah terkemas dalam keranda.

Uang banyak pun tak sampai dapat dikantongi sebagaimana terbayang-bayang dalam benak, dimana menjadi tenaga kerja di negeri tetangga adalah pintu pembuka untuk menuju sejahtera.  Maka pupus sudah cerita dari tetangga atau kolega yang mempersepsikan bahwa menjadi budak di negeri orang akan mendapat padanan pengorbanan bernama harta. Apa sebab? Karena keberadaannya di sana hanyalah seonggok manusia yang martabatnya telah dianggap hilang entah kemana. Dianggap tak ada oleh majikan sang penguasa.

Ibu... Begitulah panggilan itu sangat dikenal. Padanya, terdapat kasih yang selautan banyaknya dan sayang yang begitu samudera. Banyak terlahir darinya rasa khawatir. Khawatir akan nasib putra putrinya, khawatir akan keterjaminan hidup keluarga. Khawatir akan rasa nyaman buah hati tercinta.

Pada satu hari dalam setiap tahun, dunia hormat pada sejarahnya. Perayaan pun mengemuka di berbagai tempat dan di hampir semua lembaga. Hari Ibu. Itulah salah satu istilahnya, dimana Indonesia pun  memiliki tanggal perayaannya. Lebih dari 75 negara merayakan hari dimana kaum perempuan dihormati dedikasinya. Meski 22 Desember adalah patokan bagi negara kita, Indonesia.

Tak heran bila Allah menulis pesan tentang kewajiban kita berbakti padanya. Allah SWT telah menerangkannya dengan lugas  bahwa pejalanan ibu dalam mengasuh kita adalah luar biasa.

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Luqman : 14)

Mereka punya banyak cerita. Ada sisi gelap yang mereka geluti dalam masa yang cukup lama. Ada dramatisme yang membuat hidup sebagian diantara mereka diuji dari masa ke masa. Dan banyak diantara mereka yang sepenuh hati membesarkan kita dengan bertaruh nyawa. 

Saya seorang perempuan. Dan saya adalah bagian dari mereka, yakni seorang ibu dari dua orang anak. Bertebaran pertanyaan dalam benak terkait hendak menjadi ibu seperti apakah saya. Mampukah saya menjadi ibu terbaik bagi anak saya. Mampukah saya hadapi setiap fenomena dengan cara wajar dan bijaksana. Mampukah saya mendesain pengasuhan terbaik bagi anak-anak saya hingga tak ada kata berat untuk membesarkannya. Mampukah saya menjadi cermin bening bagi anak-anak saya hingga tak kan mengemuka sebuah konteks dimana anak-anak saya kelak begitu cerdas membalikkan fakta ketidakbaikan ibunya.

Ya Allah ya Kariim... Memang sikap dan kebodohan kamilah yang tentukan terhormat atau terpedayanya kami. Bahkan ilmu saja tak cukup membuat kami sempurna jika belum mampu mengeinternaliasi sebuah kata “bijaksana”.

Dan bukanlah konon atau kabar yang tak terjamin kebenarannya, dimana neraka penuh diisi oleh golongan perempuan. Memang cukup masuk akal, dimana rangkaian fitrah dari kaum hawa adalah haus pada perhiasan, silau oleh dunia dan tak nyaman dengan keterbatasan yang ada.

Duhai Allah. Jangan palingkan kami –para ibu- dari perlindungan-Mu.  Jauhkan kami dari ketakpuasan  yang membinasakan. Jangan biarkan kami lampaui setiap impian, sementara nasib anak-anak kami terlupakan begitu saja. Jangan biarkan kami bersenang-senang dengan harta, sementara anak-anak kami tak terjamin kebutuhan moral dan nalarnya. Jangan biarkan kami tersilaukan harta yang memesona, sementara anak kami lapar untuk mencoba banyak hal. Jangan biarkan kami larut dalam kesibukan yang hampir tak ada ujungnya, sementara anak-anak kami hanya dititipkan pada teknologi yang kadang-kadang mengganggu pola pikirnya. Jangan biarkan kami berlenggang dalam panggung sosial, sementara anak-anak kami tak punya ruang untuk sekadar menyampaikan isi hati dan masalah yang ada.

Kami tahu bahwa kebablasan telah menggejala di banyak remaja. Kami sadar bahwa tak adanya pendampingan orangtua adalah salah satu penyebab utamanya. Kami pun tahu bahwa sekolah sehebat apapun belum tentu menjamin keselamatan  moral anak-anak. Dan kami pun sadar bahwa kewajiban terbesar pendidikan anak adalah berada di tangan kedua orangtua. Kami tahu bahwa terdapat seorang siswa nun jauh di sebuah sekolah bersistem boarding, suatu hari kedapatan menyimpan satu keping VCD porno di bawah bantal di kamar asramanya. Kami sadar bahwa ini adalah bagian dari sikap otoriter orangtua yang telah melakukan tindak paksa tanpa menyelami rasa yang sesungguhnya. Hingga dari otoriter itulah, pikiran mereka terarak untuk mencoba-coba. Dan tontonan amoral adalah salah satunya.

Maka kami pohonkan ampun sedalam-dalamnya atas lengah dan abai yang telah kami perbuat. Semoga komitmen kami dalam membesarkan anak-anak kami terjaga hingga waktu yang entah kapan berakhirnya. 

Menjadi ibu, memang tak sesederhana berbicara. Banyak seni yang perlu dimiliki untuk menciptakan pengasuhan yang bijaksana. Banyak pelajaran yang perlu direnungkan dalam waktu yang bukan sesaat. Banyak contoh penyikapan yang perlu menjadi wahana latihan dalam menghadapi spontanitas anak-anak.

Surga memang hadiah indah bagi siapapun ibu yang berhasil membesarkan putra-putrinya dengan segala ilmu dan kearifan. Namun bukan tak mungkin kekesalan hadir untuk menguji sabar. Bukan tak mungkin, kelelahan kita dalam mengurus rumah tangga mematangkan tekad kita untuk bersikap kasar padanya. Pada anak-anak kita. MasyaAlah.

Ibu teladan sepanjang zaman. Ooooh, indah nian dalam bayangan. Namun sayang, masih saja muncul ketidaksadaran kita yang bahayakan mental mereka. Membentak dengan sekehandak, mencabik perasaannya dengan cara mengesampingkan hasil karyanya, menodongkan deretan pertanyaan sesaat setelah mereka melakukan sebuah kesalalahan, mengancam dengan kata-kata yang melemahkan mentalnya.

Ooooo, betapa terluka perasaan mereka. Betapa kita lupa bahwa kita pun sangat terpedaya saat mendapat perlakuan yang menyakitkan. Betapa kita telah lupa bahwa mereka adalah titipan Allah yang Maha Mulia, dimana untuk mendidiknya terdapat banyak cara yang telah diajarkan oleh agama.

Kadang-kadang kita lupa ber-istighfar atas tindakan kasar kita. Atas segala bentuk pemaksaan kita padanya. Bahkan kita masih membenarkan diri kita, dimana segala jenis pemaksaan kita, semata-mata untuk menyelamatkan moral mereka. Kita tak bersedia disalahkan saat satu analisa mengemuka dimana sikap kita adalah penyebab munculnya amoral pada mereka. Padahal, sekian banyak larangan kita buat untuk membatasi ekspektasi mereka. Lalu mereka berekspresi di luar sana untuk memuaskan diri dengan segala hal yang kita larang.

Kita pun kadang-kadang lupa dengan cara terbijak yang nyaman mereka terima. Kita paksa mereka untuk berhijab dan menjaga auratnya dengan sempurna. Namun jauh di luar sana, anak perempuan kita tak luput dari gerakan coba-coba. Mencoba untuk memperpendek ukuran hijab, mencoba untuk memperketat baju yang dikenakan, mencoba untuk bergaya se-fantastis mungkin. Ah, ternyata. Mereka bergerak jauh lebih gesit daripada kita. mereka bisa bertindak apa saja di pengawasan kita.

Ya Allah, Yang Maha Raja. Berikan cara terbaik pada kami untuk mentransformasi nilai-nilai kebaikan. Berikan pada kami cara terbijak yang membuat mereka sadar pada kewajiban dengan sepenuh ikhlas tanpa paksaan. Mohon jaga mereka dari segala bentuk godaan. Jangan biarkan satu langkah atau satu radius pun, jarak antara mereka dengan kami dimanfaatkannya untuk membohongi kami. Kami titip mereka pada-Mu. Seutuhnya.

Duhai Allah... Kami ada untuk keberlangsungan mereka. kami berkarya, juga untuk kebaikan mereka. kami memungut ragam wawasan pengasuhan, juga untuk kesalamatan mereka. Dan kami dalami agama-Mu, juga untuk keterjaminan akhlak baik mereka. Lalu kami jaga mereka seutuhnya atas nama ibadah pada-Mu semata. Kami harap surga terindah sebagai tempat istirahat kami di akhirat sana. Kami pohonkan agar setiap partikel pengorbanan kami menjadi amal ibadah berpahala.

Kami pun bersandar pada kebesaranmu atas kerdilnya kemampuan kami sebagai orangtua. Jangan biarkan kami lengah dalam mengawasi keseharian mereka. jangan biarkan kami memberi contoh yang salah bagi mereka, baik sengaja ataupun tanpa sengaja. Karena kepada siapa lagikah mereka berkaca kalau bukan pada orangtuanya. Maka jadikan kami orangtua yang senantiasa menjaga sikap, menjaga ucapan, mengendalikan lisan, menjaga keistiqomahan ibadah.

Memang tak ada manusia yang sempurna. Pun sebagai ibu. Tak kan pernah ada ibu sempurna, kecuali hanya dimiliki oleh para shabiyah dan perempuan-perempuan sholehah terdahulu yang inspiranya bertahan sepanjang zaman. Namun kiranya kami berupaya untuk menjadi yang terbaik bagi anak-anak kami. Bagi generasi kami.

Dan meski berbekal pengasuhan apa adanya, kami berharap besar agar kami senantiasa tersadarkan dengan berbagai kesalahan-kesalahan yang mengemuka. Tetapkan kami menjadi ibu yang bahagia lahir dan batin. Agar dari rasa bahagia itulah, kami mampu menghadirkan aura terbaik yang membuat anak-anak kami nyaman. Bukan sebaliknya, dimana mereka terlalu sering menyerap raut-raut kegalauan dan amarah ibunya.


Akkohu'alam bishshowaab.

Posting Komentar

0 Komentar