Risalah Pengasuhan ANAK-ANAK KITA DAN KEMERDEKAAN JIWA

Sumber: google

By : Miarti Yoga
Early Childhood Consultant

Sangat percuma. Bila lagi-lagi kita terhanyut kelaziman yang memporakporanda. Memporakporanda apa? Memporakporanda prinsip hidup.

Di satu sisi, kita telah merasa sempurna dengan kasih sayang yang kita hadiahkan untuk mereka, -anak-anak kita-. Di sisi lain, masih saja ada kehendak diri yang dipaksakan sedemikian rupa yang membuat mereka tak lagi punya rasa merdeka.

Saat kita berada dalam satu komunitas tertentu, lalu kita terbawa pilihan massif yang ada. Maka anak kita pun digiring dalam kemassifan itu. Disekolahkan di sebuah lembaga yang sama, dikirim ke sebuah lembaga kursus yang sama, digiring ke tempat bermain yang sama, di-setting untuk memiliki minat dan bakat yang sama, dan lain-lain. Padahal jangankan berbeda keluarga, anak yang jelas satu rahim saja memiliki kebutuhan yang berbeda. Memiliki kemistri yang berbeda. Memiliki prospek masa depan yang berbeda.

Dan bukan satu dua diantara orangtua yang kemudian menelan ludah pasca sang buah hati “mentok” alias tak betah dalam penggiringan massif tersebut. Sang anak meminta berhenti dan berharap berpindah pada “habitat” lain yang diperkirakan dapat memenuhi kepuasan batinnya.

Selain soal penggiringan massif, kontkes memproteksi anak secara berlebihan pun masih saja melekat pada sebagian diantara kita, -orangtua-. Anak kita tak boleh ke luar rumah. Anak kita tak diperkenankan bermain dengan A, B, atau C. Anak kita tak harus berbagi makanan dengan teman. Anak kita tak boleh naik angkot maupun ojek. Anak kita harus benar-benar steril dari pertemanan yang penuh dinamika.

Alhasil, anak kita menjadi pribadi yang ragu dalam ruang-ruang sosial. Anak kita berbeban dilema antara harapan untuk mencoba, dengan kecemasan akan ancaman yang terus berkelindan. Bahkan anak kita menjadi seseorang yang terlalu sulit untuk membuktikan kemandirian yang ada.

Konteks berikutya, masih juga ada diantara kita yang terjebak dalam pusaran prestasi akademik. Memang sangat membanggakan dan menjadi sebuah pahatan sejarah, saat anak kita selalu menjadi rangking 1 di kelasnya, saat anak kita lagi-lagi menjadi juara umum, saat anak kita menguasai akademik melebihi kemampuan keterampilannya. Ini sangat tak salah. Bahkan kita pun wajib berikhtiar menuju puncak yang didambakan.

Namun yang menjadi anomali (ironisme) adalah ketika kita tak imbang dalam berharap. Kita berharap lebih, kita berharap yang teristimewa, namun kita nyaris tak punya andil dalam pendampingan keseharian. Kita hanya memiliki andil besar dalam memaksakan kehendak, kita hanya punya andil besar dalam menuntut target, dan kita hanya memiliki andil besar dalam menghakimi saat mereka terbentur kemunduran angka-angka.

Padahal hakikatnya, anak-anak dengan segala perbedaan basis keterampilan apapun (hafalan Qur’an, musik, olahraga, literasi, desain, dan lain-lain) semua memiliki kemungkinan untuk menjadi yang terbaik dalam akademik. Terlebih saat mereka berada di bawah tekanan, saat mereka mencintai rangkaian mata pelajaran dengan sepenuh kemistri. Ini sangat berarti. Ini sebuah dunia yang sangat dicintai.

Konteks berikutnya, bukan tak ada, diantara kita yang masih saja mensejajarkan kreativitas anak kita dengan kelaziman keluarga. Saat keluarga besar kita adalah keluarga polis/polwan, maka Ayah dan Ibunya berharap sedemikian rupa agara putra-putrinya harus mengikuti kelaziman keluarga besar. Bahkan bukan tak ada, berbagai cara ditempuh dan dihalalkan demi memenuhi ruang selera.

Pun bagi keluarga besar berlatar guru, berlatar pengusaha, berlatar BUMN. Masih saja menghendaki adanya “dinasti profesi”. Padahal hakikat profesi, selain sebuah taqdir perjalanan, juga merupakan sebuah cantolan kemistri dan kecenderungan. Lebih jauh lagi, pemilihan aalah profesi bagian dari khidmat terhadap dakwah. Dakwah pada semesta.

Maka tak lagi seharusnya kita memaksakan dalam menciptakan homogenitas kecenderungan. Karena kecenderungan anak kita tak bisa dipastikan sama dengan kita. Kecenderungan si kakak tak bisa dipastikan sama dengan si adik. Sehingga salahkah bila sebuah keluarga teknokrat, melahirkan putra/putri yang kemudian berinovasi di bidang industri kreatif?

Bismillah. Semakin bertambah zaman, semakin saling berlintasan ilmu dan pengetahuan, maka pilihan minat manusia itu semakin terelaborasi alias semakin berkembang dan bercabang.

Yakinlah bahwa mereka menjadi pemenang dengan latar belakang kegemilangan masing-masing. Mereka niscaya menjadi pankluk dunia dengan keunggulan pribadi masing-masing.

Bahkan jika dianalogikan dengan salah satu ayat Al-Qur’an, dunia pengetahuan dan pilihan kemistri itu sangatlah luas, asal kita punya kekuatan untuk menembusnya. Kekuatan spiritual, kekuatan impian, kekuatan prinsip

“Hai jema’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan. .” (QS. Ar-Rahman : 33)

Sebagai hadiah. Berikut saya persembahkan salah satu lirik lagu dari Giring Nidji.

Di Atas Awan

Cinta satukan hati
Kuatkan jiwa menghadapi dunia
Segala cinta dan luka
Kuatkan semua persahabatan

Kita penantang impian
Di atas awan kita kan menang
Kita penakluk dunia
Di atas awan kita kan menang, menang

Bila kau merasa sedih
Ingatlah bahwa kau tak sendiri
Tanpamu tak akan sama, tanpamu semua berbeda
Kisahku juga kisahmu, selalu bersama

Melangkah di bawah mentari yang sama
Mencari tempat kita di masa depan
Berjanji kita tak akan putus asa
Walaupun semua tak akan mudah


Allohu’alam bishshowaab.

Persembahan istimewa di Hari Merdeka, untuk seluruh keluarga yang berjuang menuju surga

Salam Pengasuhan


Posting Komentar

0 Komentar