Ungkapan
tersebut, ternyata tak hanya berlaku dalam kebaikan. Melainkan dalam keburukan
pun demikian. Banyak hal yang bermula dari perasaan-perasaan sederhana seperti
merasa tak puas, tak nyaman dalam berteman, merasa tak disapa, merasa
dinomorsekiankan dan atau sejenisnya.
Seiring waktu, perasaan tak nyaman itu terakumulasi menjadi sebuah hasad yang pada kondisi tertentu bisa
menutup pintu hati. Bahkan terangkum dalam sebuah pengungkapan rasa bernama
benci.
Kebencian
yang terpelihara, kebencian yang terus diberitakan dalam “curhat” panjang,
kebencian yang sulit dilumpuhkan, selanjutnya menjadi apriori yang tak
terbantahkan. Tanpa toleransi. Maka berhenti di jalan dakwah benar-benar
menjadi pilihan. Tak peduli dengan sekian waktu yang telah dikorbankan, dengan
sejumlah harta yang diinfakkan, dengan kesungguhan yang telah diwakafkan. Semua
menjadi lupa seketika. Karena memang sikap emosional telah mendominasi.
Sehingga tak merasa perlu berpikir ulang untuk mengubah keputusan.
Perbedaan
persepsi memang manusiawi. Tetapi akan berakibat sangat dahsyat saat logika
berada dalam kondisi yang rapuh. Saat mental dan kondisi sipiritual kita dalam
kondisi dipertanyakan. Diri kita dibuat rentan pada perbedaan, pada sindiran,
pada saran-saran. Bahkan dari konteks sekecil SMS yang tak terbalas saja
menjadi kecewa yang tiada duanya.
Dan
begitulah akhirnya jika objektivitas telah terprovokasi seutuhnya oleh nafsu
subjektivitas. Segala hal tentang dia yang resisten dalam persepsi kita, maka
jeleklah semua vonis kita tentang dia. Seolah tak ada satu sisi kebaikan pun
yang layak diakui dan diapresiasi.
Namun begitulah jika subjektivitas telah menjadi raja pada jiwa kita. Semua tak ada yang baik kecuali menurut persepsi kita sendiri.
Perihal
|
Respons
|
Berpapasan
dengan sesama akhwat/ummahat, namun tampak judes dan seolah enggan untuk
saling bertukar senyum.
|
Mentang-mentang udah senior di dakwah.
Saling bertegur sapa, apa susahnya sih? Tokh tak kan mengubah statusnya dalam
jenjang dakwah.
|
Tidak dipenuhi
saat kita menyampaikan maksud untuk meminjam uang kepada teman satu grup atau
kepada murobbi atau kepada qiyadah yang dianggap memungkinkan secara
finansial.
|
Yaaaaa... Sesama sodara aja pelitnya
luar biasa. Padahal dimana-mana ia bercuap-cuap tentang kewajiban menjaga
ukhuwah dan saling membantu meringankan sodara. Gimana sih.. Ga konsisten
bingiiiits.
|
Menyikapi
salah satu rekan atau pasangan hidup kita yang pada suatu saat bersikap
cenderung kasar atau membuat kita tidak berkenan.
|
Orang yang bukan kader dakwah saja,
bisa menjaga sikap, mampu menjaga ucapan, dan sangat berhati-hati saat tengah
berkomunikasi. Kok dia yang jelas-jelas terbina, berani seenak perut.
|
Diingatkan
oleh salah satu teman yang kita anggap idealis, terkait ketidakhati-hatian
kita dalam memutuskan. Misalnya kita ditegur
tentang cara berpakaian, tentang penggunaan bank konvensional, tentang
pemilihan sekolah untuk anak-anak, dan lain-lain.
|
Santai aja keles...! Sok suci banget.
Orang dia aja masih perlu banyak revisi.
|
Mendengar
salah seorang qiyadah yang diisukan melakukan sesuatu yang kontroversi.
|
Makanya, hati-hati dengan pencitraan.
Begitulah efeknya. Niat hati mau tampil beda, eh malah melanggar norma.
|
Astaghfirullaahalladzii
laa haillaahuwalhayyul qoyyumu waatubu ilaih Semoga selamanya kita tersadar.
Terbangkitkan. Untuk senantiasa meluruskan hati. Mengelola rasa. Allohu alam.
Baca Juga Type 4 : Tak Tahu Maka Tabayyun
(Miarti)
Baca Juga Type 4 : Tak Tahu Maka Tabayyun
(Miarti)
0 Komentar