Type 3 : Luka-luka Akibat Kecewa



ilustrasi
pksbandungkota.com - Segala yang besar, bermula dari hal yang sangat kecil. Itu niscaya.
Ungkapan tersebut, ternyata tak hanya berlaku dalam kebaikan. Melainkan dalam keburukan pun demikian. Banyak hal yang bermula dari perasaan-perasaan sederhana seperti merasa tak puas, tak nyaman dalam berteman, merasa tak disapa, merasa dinomorsekiankan dan atau sejenisnya.  Seiring waktu, perasaan tak nyaman itu terakumulasi menjadi sebuah hasad yang pada kondisi tertentu bisa menutup pintu hati. Bahkan terangkum dalam sebuah pengungkapan rasa bernama benci. 

Kebencian yang terpelihara, kebencian yang terus diberitakan dalam “curhat” panjang, kebencian yang sulit dilumpuhkan, selanjutnya menjadi apriori yang tak terbantahkan. Tanpa toleransi. Maka berhenti di jalan dakwah benar-benar menjadi pilihan. Tak peduli dengan sekian waktu yang telah dikorbankan, dengan sejumlah harta yang diinfakkan, dengan kesungguhan yang telah diwakafkan. Semua menjadi lupa seketika. Karena memang sikap emosional telah mendominasi. Sehingga tak merasa perlu berpikir ulang untuk mengubah keputusan. 

Perbedaan persepsi memang manusiawi. Tetapi akan berakibat sangat dahsyat saat logika berada dalam kondisi yang rapuh. Saat mental dan kondisi sipiritual kita dalam kondisi dipertanyakan. Diri kita dibuat rentan pada perbedaan, pada sindiran, pada saran-saran. Bahkan dari konteks sekecil SMS yang tak terbalas saja menjadi kecewa yang tiada duanya.

Dan begitulah akhirnya jika objektivitas telah terprovokasi seutuhnya oleh nafsu subjektivitas. Segala hal tentang dia yang resisten dalam persepsi kita, maka jeleklah semua vonis kita tentang dia. Seolah tak ada satu sisi kebaikan pun yang layak diakui dan diapresiasi.

Namun begitulah jika subjektivitas telah menjadi raja pada jiwa kita. Semua tak ada yang baik kecuali menurut persepsi kita sendiri.
Perihal
Respons
Berpapasan dengan sesama akhwat/ummahat, namun tampak judes dan seolah enggan untuk saling bertukar senyum.
Mentang-mentang udah senior di dakwah. Saling bertegur sapa, apa susahnya sih? Tokh tak kan mengubah statusnya dalam jenjang dakwah.
Tidak dipenuhi saat kita menyampaikan maksud untuk meminjam uang kepada teman satu grup atau kepada murobbi atau kepada qiyadah yang dianggap memungkinkan secara finansial.
Yaaaaa... Sesama sodara aja pelitnya luar biasa. Padahal dimana-mana ia bercuap-cuap tentang kewajiban menjaga ukhuwah dan saling membantu meringankan sodara. Gimana sih.. Ga konsisten bingiiiits.
Menyikapi salah satu rekan atau pasangan hidup kita yang pada suatu saat bersikap cenderung kasar atau membuat kita tidak berkenan.
Orang yang bukan kader dakwah saja, bisa menjaga sikap, mampu menjaga ucapan, dan sangat berhati-hati saat tengah berkomunikasi. Kok dia yang jelas-jelas terbina, berani seenak perut.
Diingatkan oleh salah satu teman yang kita anggap idealis, terkait ketidakhati-hatian kita dalam memutuskan. Misalnya kita ditegur  tentang cara berpakaian, tentang penggunaan bank konvensional, tentang pemilihan sekolah untuk anak-anak, dan lain-lain.
Santai aja keles...! Sok suci banget. Orang dia aja masih perlu banyak revisi.
Mendengar salah seorang qiyadah yang diisukan melakukan sesuatu yang kontroversi.
Makanya, hati-hati dengan pencitraan. Begitulah efeknya. Niat hati mau tampil beda, eh malah melanggar norma.

Astaghfirullaahalladzii laa haillaahuwalhayyul qoyyumu waatubu ilaih Semoga selamanya kita tersadar. Terbangkitkan. Untuk senantiasa meluruskan hati. Mengelola rasa. Allohu alam.

Baca Juga Type 4 : Tak Tahu Maka Tabayyun
(Miarti)

Posting Komentar

0 Komentar