Pejuang Tanpa Senjata, Tanpa Zirah (bag 2)

Samurai Jepang

pksbandungkota.com - Lanjutan dari artikel Pejuang Tanpa  Senjata, Tanpa Zirah (bag 1) , Abdul Wahid,seorang ulama yang saleh, fasih berbahasa Arab. Duduk melingkar bersama para tetua, bermusyawarah tentang perang sabil. Di sekitarnya berjajar pula beberapa orang. Salah seorang di antaranya membaca Firman Ilahi: "Sesungguhnya Allaah telah membeli diri orang Mu'min dan harta benda mereka dengan menganugerahkan surga untuk mereka."
Ayat itu terus diulangnya.
Siapa yang menjual nyawa dan hartanya, Allaah yang beli, dengan harga tertinggi, surga.

Di antara hadirin, berdiri seorang anak. Remaja muda belia, 15 tahun umurnya. Banyak teman di kanan kirinya. Ibu dan ayahnya telah berpulang, gagah rupa, mulia akhlak, sangat cerdik dan harta peninggalan ayah bundanya sangat berkecukupan. Alunan ayat itu telah  merasuki jiwanya. Seolah ia lupa diri, seraya berkata: "Benarkah yang disebutkan ayat tadi wahai guru?"
Abdul Wahid menjawab,"Sungguh demikian, hai buah hati."
"Wahai guru, saya jual nyawa saya ini. Semoga Allaah membelinya."
Abdul Wahid tersenyum.
"Jangan terlanjur kata hai anak muda, kau bagai bunga putih, hartamu bisa habis. Kami yang tua ini saja masih ragu, apalagi engkau. Pikirlah baik-baik."
Sang pemuda bintang timur itu menjawab, "Saksi hamba adalah Allaah dan Rasulullaah." Ia cium tangan sang guru, seraya bangkit berlalu, meninggalkan gurunya yang keheranan dengan bibir terkunci.

Sampai di rumah, sang pemuda mulia budi, membuka peti, diambilnya pakaiannya. Tidak hanya untuk dirinya namun jua untuk rekan-rekannya. Hatinya tetap teringat pada Allah, Rabb penguasa. Ia siapkan senjata bedil, alat-alat perang dan kuda-kudanya. Habislah semua hartanya untuk perang melawan kafir harbi Belanda.

Sang pria pujaan, dengan yakin sekali, bersama Abdul Wahid, ulama besar, juga rekan-rekannya, siap berangkat berperang.

Telah lama mereka berjalan, peluh keringat telah mengalir, pada suatu tempat, berhentilah sepasukan itu duduk beristirahat. Sang pemuda jauhari, memisahkan diri hendak menjaga perbekalan perang, khawatir ada yang mencuri. Ia tertidur pulas. Dalam kelezatannya tidur ia bermimpi.
Dilihatnya intan di atas kursi. Ainul Mardiyah berkata, " Hamba diciptakan Allaah, khusus untuk  tuan, hai bangsawan bunga manikam."
Ainul Mardiyah menghilang.

Sang pemuda terbangun. Dengan raut muka sangat bahagia, ia bangkit. Air matanya mengalir. Abdul Wahid dan teman-temannya telah datang.
Abdul Wahid bertanya: "Mengapa ananda terlihat bahagia, seolah akal tak ada lagi."
Sang pemuda menjawab, " Wahai guru, hamba tadi bermimpi. Berjalan di pinggir sungai yang mengalir. Manis rasanya. Kandil menyala berjajar, bergantung tanpa tali, bergantung sendiri atas karunia Rabbi. Air sungainya jernih, manis. Sungai Al Kautsar namanya. Tebingnya emas. Hamba lihat para bidadari turun je sungai. Indah rupa tiada tara. Mereka bernyanyi-nyanyi di Sungai Al Kautsar. Di ujung rambutnya, selendang disandang. Muka cantik tak terkira. Tak sanggup kupandang.  Mukanya bercahaya gilang gemilang bak bulan empat belas hari. Para bidadari jelita itu berkata menatapku: "Jodoh Ainul Mardiyah telah datang. "
Suaranya indah bak suling.
"Kami mengabdi pada Putri, jodoh tuan. Ia sudah menanti di sana. Melangkahlah sedikit lagi "
Hamba terus berjalan. Di pinggiran sungai madu. Telah berjajar pula para bidadari. Yang ini lebih cantik sepuluh kali lipat. Malulah hamba. Mereka terus berkata menyambutku. "Telah datang pengantin laki-laki Putri kita. Kami dayang-dayang. Jodoh tuan lebih cantik dari kami."

Suara mereka indah bak buluh perindu.
"Assalamualaikum wahai waliullaah. Kami rindu ingin melihat jodoh putri kami. Melangkahlah sedikit lagi tuan. Kami para dayang mengabdi pada jodoh tuan."
Suara mereka indah bak biola Parsi.
Hamba berjalan lagi. Kulihat sungai yang bercahaya airnya. Berjejer putri cantik dengan pakaian indah. Lebih cantik lagi mukanya. Mereka menyambutku dan berkata," Jodohmu telah menanti di kemah bunga melati, tepat arah di atas jalan."
Beribu-ribu pujian. Waktu terasa nikmat. Hamba lihat pertunjukan Tuhan. Pasar beribu ragam. Orang bersuka cita. Pakaiannya indah, perhiasan di tangan dan kakinya.
Dan kulihat bidadari Nurul Aini, muda-muda usia berjajar. Tak puas-puas hamba menatap wajahnya. Bercahaya seperti siang hari. Beribu macam wewangian semerbak.

"Masuklah kemari wahai Tuan. Duduk bersama di atas kursi. Inilah Ainul Mardiyah. Jodoh tuan."
Ainul Mardiyah cantik tak terperi.
Tanganku diciumnya. Lezat di badan hingga segala sendi. Tempat tidur emas. Bantal bersusun di kanan  kiri. Permadani beralun, lantai licin lalat pun terpeleset. Rebahlah hamba terhantar, sambil dikipasi putri cantik. Ainul Mardiyah.

(Bersambung)

Emily

Posting Komentar

0 Komentar