Stop Tipu-Tipu




Dear Ayah Bunda.. Sakit rasanya saat kita dibohongi. Dibohongi anak, apalagi. Tentu sangat melukai perasaan.
Stop tipu-tipu. Istilah yang saya serap dari seorang komedian cerdas yang sangat bijak menyoroti berbagai ketimpangan yang terjadi, -Abdurrahim Arsyad-. Pemuda asal Nusa Tenggara Timur yang berhasil meraih runner up pada ajang Stand Up Comedy  di salah satu televisi swasta nasional.
Ayah Bunda… Soal tipu menipu orangtua, pernah terjadi pada dua orang gadis yang bersama-sama duduk di bangku SMA di sebuah daerah kecil di Ciamis. Mereka hendak mengikuti agenda sekolah bernama karyawisata.  Objek yang dijadikan adalah Pantai Pangandaran. Namun dua gadis tersebut mencoba berulah dengan cara menyampaikan kepada orangtua masing-masing bahwa objek wisata yang hendak mereka tuju adalah Jogjakarta. Bayangkan, perbedaan jarak yang sekian ratus kilometer.
Sebagai rasa sayang terhadap anak, orangtua mereka memberikan persiapan dan bekal yang tidak sedikit. Karena bertamasya ke Jogjakarta tentu menghabiskan waktu yang tak sebentar. Padahal kedua gadis itu hanya menghabiskan waktu sehari semalam untuk menikmati Pantai Pangandaran. dan tak perlu sekian banyak bekal yang harus disiapkan. Namun modus penipuan telah membuat mereka lupa tentang seberapa besar dosa mengkhianati orangtua.
Sebaliknya, saya menemukan seorang anak berusia enam tahun yang habis-habisan membuat orangtuanya senang dan merasa tenang. Begitu mendengar suara adzan, dirinya beringsut ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu. Apapun aktivitas yang tengah asyik dilakukannya, dia cut sedemikian cepat supaya sang ibu puas menyaksikan dirinya menjalankan sholat. Pun ketika berbelanja di minimarket, lalu ditawari makanan atau jajanan oleh ibunya, anak laki-laki itu menggeleng pertanda menolak. Padahal penolakan tersebut semata-mata untuk meyakinkan ibunya bahwa dia adalah anak yang tidak banyak keinginan dan tidak banyak merepotkan. Dia baru menerima setelah diserahi, bukan setelah ditawari.
Cerita yang ketiga saya temukan pada seorang anak yang sangat kecanduan main game. Bahkan jenis game yang diaminkannya pun lebih berupa permainan untuk orang dewasa. Karena unsur perang, kejahatan dan tindakan destruktif lainnya ada dalam menu game yang dia mainkan. Dan saking gregetnya dia untuk menyalakan komputer dan memainkan nya dengan puas, ia berani mencuri-curi kesempatan untuk bermain ke rumah tetangga. Satu motif yang ada dalam benaknya adalah, supaya dia bisa numpang main game tanpa ocehan ibu atau ayahnya.
Dilihat dari latar belakang pengasuhan keluarga, cerita pertama adalah cerita dua orang gadis yang berasal dari keluarga yang cenderung membebaskan. Bahkan hampir tak ada unsur edukasi atau sekadar mengingatkan anak. Selain itu, orangtua mereka termasuk yang kurang inisiatif mencari info terkait bagaimana kehidupan anaknya di sekolah. Bahkan anak sudah mau disekolahkan saja, sudah cukup bersyukur. Tak peduli bagaimana mereka dan apa yang terjadi selama di sekolah. Bahkan untuk biaya sekolah pun, berulang kali direkayasa oleh anak gadis yang candu menipu tersebut.
Lain lagi dengan cerita versi kedua. Anak tersebut lebih banyak menahan keinginan dan lebih banyak diam akibat terlalu sering melihat ibunya dalam keadaan lelah. Ibunya yang sibuk memikirkan sekian persoalan dan sering kedapatan tengah berkerut kening serta berkeluh kesah, membuat anak tersebut tak berani untuk menambah beban.
Dan cerita yang ketiga bermula dari budaya kedua orangtua yang terbiasa mematok aturan pada anak-anak. Namun sayang, aturan yang diberikan lebih berupa penekanan. Bukan peringatan yang disampaikan dengan bijak. Bukan pula aturan main yang disampaikan dengan konsisten dalam setiap peralihan aktivitas. Misal ketika anak masih main di luar, kita ingatkan dia bahwa dua puluh menit lagi airnya sudah siap. Sehingga tidak acara peringatan yang sifatnya dadakan. Pun ketika anak mandi, kita ajak ngobrol dia untuk mengingatkan makan. “Setelah mandi, Kakak makan ya! Makannya sampai habis dan nggak disuapi, ya! Ok?” Begitulah kira-kira cara kita mengingatkan. Bukan dengan cara banyak dipatok oleh komitmen yang membuatnya merasa tertekan untuk melakukan banyak hal. Ditambah dengan cara komunikasi yang kaku seperti kalimat berikut;
·           “Ingat kata Bunda…! Kamu hanya boleh main game satu jam sehari. Kalau lebih, Bunda hukum kamu.”
·           “Mau berhenti nggak? Kalau masih nggak mau berhenti, Bunda jual aja komputernya.”
·            
Motif memanipulasi orangtua banyak terjadi karena motif penasaran. Artinya, semakin tidak diperbolehkan, semakin penasaran untuk dicoba. Persis ketika ada anak yang dikondisikan untuk menimba ilmu di sebuah SMP boarding. Ada beberapa diantara mereka yang penasaran untuk mencoba berkerudung gaul. Maksudnya, ingin sekali berkerudung dengan gaya slebor. Ingin lebih transparan, ingin ketat, ingin lebih pendek, dan ingin lebih banyak macam gaya. Satu-satunya motif yang dilakukannya adalah semata-mata karena merasa tak nyaman dengan keharusan dari semua pihak. Kedua orangtua yang begitu perfect mengharuskannya berkerudung rapi, pihak pesanren pun demikian. Pada akhirnya, ketika sesekali dia main keluar, ia mencoba melakukan aksi berkerudung yang selama ini baru sebatas imajinasi. Dan tidak sedikit, kasus yang lebih dahsyat dari gaya berkerudung. Yakni, merokok, video porno dan tentu saja, narkoba.
Keinginan yang semakin berkelindan pada anak-anak, jika dikaitkan degan teori psikoanalitis Sigmun Freud, mereka ibarat individu yang tengah mengeksekusi sebuah lintasan pikiran. Dan ego adalah badan pelaksananya (executive branch). Mereka tak sadar apakah yang mereka lakukan itu salah atau benar. Karena ego tidak memperhitungkan nilai-nilai moralitas. Oleh karenya, tigas besar kita adalah menyusun struktur kepribadian tahap berikutnya, yang dikenal dengan istilah superego. Dalam tahapan superego, seorang anak dikenalkan hati nurani (conscience). Mereka diminta untuk membuka hati untuk mampu memperhitungkan perbuatan dan serta merasa bersalah atas perilaku tak normatif yang telah atau terlanjur dilakukannya. Dan ketika tekanan-tekanan memblokade ego seorang anak, lalu sekian kepuasan yang lebih dahulu dibatasi, maka hal itu bagaikan sinyal bagi dirinya untuk mengatasi konflik melalui alat mekanisme pertahanan. Dan perilaku penipuan dengan beragam jenisnya, adalah salah sau bentuk mekanisme pertahanan yang mereka lakukan.
Selanjutnya, faktor-faktor apa saja yang membuat mereka memainkan ego-nya hingga melakukan aksi manipulasi. Ayah Bunda bisa intip satu persatu.
1.        Butuh penghargaan
Anak bisa saja berpura-pura sudah melakukan sholat, atau berpura-pura menjalankan puasa, atau berpura-pura mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Hal ini sebagai bentuk pengharapan dia pada orangtua, yang selama ini dianggap kurang mengapresiasi dirinya atau dianggap pilih kasih.
2.        Meniru orangtua atau orang-orang sekitar
Tanpa sadar kita melakukan kebohongan. Terlepas, atas dasar motif apa kita melakukannya. Namun hal inilah yang kemudia mereka jadikan pembenaran. Mereka menganggap bahwa dirinya boleh melakukan hal yang sama. Karena contoh yang mereka lihat layaknya sebuah ucapan “silakan”.
3.        Ingin menunjukkan superioritas atau kekuatan diri
Kekurangan diri aadalah salah satu pemicu munculnya motif ingin menunjukkan superioritas. Ini bisa terjadi pada anak yang berasal dari keluarga kurang mampu secara finansial. Dia memanipulasi kondisi yang sebenarnya melalui cara berpakaian, cara berdandan, dan dengan cara yang terkait dengan kebendaan.
4.        Takut diketahuai kondisi yang sebenarnya
Ada anak yang menyembunyikan luka pada salah satu bagian tubuhnya. Bukan karena takut sakit ketika diobati. Karena dia sudah paham tentang konsekuensi diobati. Meski sakit karena diolesai atau mesti pahit sekalipun saat meminum obat, namun dia sadar bahwa hal itu adalah jalan untuk sembuh. Jadi motif dia menyembunyikan luka lebih karena takut dimarahi atau takut diancam supaya tidak boleh bermain lagi.
5.        Tak tahan dengan tuntutan yang ada
Saya pernah menemukan anak kelas tiga SMP yang banyak ditekan oleh nenek kakeknya untuk mendapat nila ujian yang memuaskan dan kelak ditargetkan harus lolos ke sebuah SMA negeri terkemuka. Bahkan anak tersebut dierketat dengan jadwal bimbel. Namun karena seringkali dibuntuti dan ditelepon, suatu hari di saat jam belajar efektif dia kedapatan tengah menikmati video-video porno di sebuah warnet yang tak jauh dari sekolah.
6.        Untuk menutupi kekurangan dengan cara melebihkan keadaan yang sebenarnya
Contoh semacam ini bisa kita lihat pada anak yang menyontek pekerjaan teman. Sadar akan kekurangan dirinya yang tak sanggup mengerjakan soal, dia mencoba mendekati salah satu teman yang sudah terpediksi lihai dan tepat dalam mengerjakan setiap soal. Dan begitu tiba hasilnya dibagikan, sang anak dengan bangga melapor kepada orangtuanya terkait nilai bagus yang baru saja didapatnya.
7.        Sudah cukup lihai dan selalu berhasil
Poin yang satu ini sangatlah membahayakan. Karena selain sudah menjadi karakter, anak yang berada pada tahap seperti ini sudah merasa aman. Dan rasa aman itu muncul akibat longgarnya pengawasan orangtua.
Ayah Bunda yang bahagia. Semoga karifan senantiasa mengembrio pada buah hati kita semua. Semoga mereka tetap bertahan dalam kebaikan tanpa tercederai oleh keinginan-keinginan ekstrem dan tak bernorma. Tetapkan cerita-cerita hikmah mengalir terus pada rasa hausnya. Dan biarkan komunikasi tercipta dalam setiap harinya. Bukalah ruang keakraban untuk mereka mengemukakan kejujuran. Karena jujur itu sendiri adalah harga yang sangat mahal. Lebarkan senyum kita untuk menjadi pertanda bahwa kita adalah tempat ternyaman untuk mereka jadikan pelabuhan. Salam sayang untuk Ananda.
Alloohu ‘alam bish showaab. Semoga bermanfaat. 
 (Miarti)

Posting Komentar

0 Komentar