ilustrasi |
Dear Ayah Bunda. Seringkali, anak menjadi korban atas perasaan
kita yang tak tentu arah. Saat mereka meminta tolong dengan segala
kekurangannya, kita hanya mampu mengatai tanpa memberi solusi. Saat mereka
meminta bercengkrama dengan segala pengharapannya untuk didengar, kita langsung
berbalik arah dan tak menyedekahkan waktu barang beberapa saat untuk
mendengarkan isi hatinya.
Kita
sadar bahwa mencintai buah hati adalah semestinya. Kita pun meyakini bahwa
menghadiahkan kasih sayang pada anak adalah seharusnya. Namun begitu banyak
fakta yang ternyata tak sepadan dengan pengetahuan. Bahkan tak selaras dengan
kepahaman.
Seorang
ibu memarahi buah hatinya hanya karena sebuah penyebab yang tak layak
dipersoalkan alias sangat wajar. Seorang bapak terpaksa bersikap kasar pada
putra putrinya hanya gara-gara waktu istirahatnya terganggu. Bahkan bukan tak
ada, seorang ibu atau seorang bapak yang akhirnya tega menghabisi nyawa anaknya
hanya karena dorongan marah yang tak tertahankan.
Apakah
penyebabnya hingga bisa demikian? Ketidakharmonisan diantara ayah dan ibu.
Itulah salah satunya. Benci yang tak terkendali, marah yang berujung lelah,
pasrah yang tak lagi mengejawantah, semua berpadu menjadi rangkaian mind set yang luluh lantakkan keyakinan.Harta,
keterbatasan finansial, dan atau sejenisnya, seringkali menjadi penyulut
letupan pertengkaran. Masa lalu yang terus disemayamkan dalam ruang dendam,
sulit sekali diuraikan hingga rasa marah terus bermunculan.
Harta,
memang tak bisa dinafikan. Bahwa adanya, mampu berikan kebahagiaan dan dapat
ekspresikan kasih sayang. Demikian pula dengan cinta. Bahwa adanya, dapat
lunakkan rasa hingga kita mampu berikan kelembutan dan ketentraman. Tetapi
apakah itu segala-galanya?
Ketauhidan.
Itulah kunci yang tak terbantahkan. Romantika itu ditopang oleh ketauhidan.
Oleh keluhuran iman. Oleh kepasrahan untuk menjadi hamba terbaik dan pasangan
terbaik.
Lalu,
seberapa beratkah kita untuk sekadar menjadi pujangga apa adanya untuk pasangan
kita? Seberapa berbebankah kita untuk sekadar mengalah demi kebaikan bersama
pasangan? Seberapa ringkihkah kita untuk sekadar menyingkirkan kesakithatian
demi kesakithatian yang ada? Sebarapa sulitkah kita mengemas second honeymoon dengan harga yang
terjangkau bahkan dengan modal semurah mungkin? Sebarapa sibukkah kita hingga
tak mampu untuk sekadar merapikan kamar tidur dan memberikan sentuhan sederhana
yang membangkitkan?
Bukankah
dalam setiap kelemahan seorang manusia, tentu bersama kelebihan yang bisa jadi
takarannya melebihi kelemahan itu sendiri. Apalagi kelemahan itu hadir dari
seseorang yang telah Allah takdirkan untuk hidup bersama dengan kita. Bukankah
pintu maaf adalah pintu yang senantiasa Allah bukakan lebar-lebar. Lalu
bagaimana dengan kita yang hanya seorang hamba yang lihai sekali menciptakan
kesalahan demi kesalahan.
Sempurnanya
pengasuhan buah hati, bermula dari sempurnanya ayah dan ibu membuat setting
panggung rumah tangga. Walaupun sempurna itu sendiri, bukan tak ada konflik.
Sempurna itu bukan tak ada silang pendapat. Sempurna itu bukan berarti luput
dari persoalan. Namun sempurna itu mengemuka dari keberterimaan rasa, dari kemampuan
mengemas konflik yang ada, dari kemampuan mencairkan persoalan demi persoalan.
Yuk,
bersama kita napak tilas pada masa di mana kita dawamkan ikrar suci di hari
pernikahan. Adakah pernikahan itu berekspektasi untuk saling membenci dan melukai.
Adakah pernikahan itu bertujuan untuk saling terdiam dan saling meninggalkan.
Yuk
mengukur kadar bahagia masing-masing diantara kita. Sudahkah kita memuaskan
pasangan kita dengan apa yang kita bisa? Sudahah kita mensyukuri fragmen demi
fragmen keagungan Allah dalam rumah tangga kita? Sudahkah kita fokus pada
kelebihan pasangan kita dan bukan pada kekurangannya? Sudahkah kita menjadi sandaran
yang menentramkan untuk setiap galau yang dirasakan pasangan kita?
Bahagia
kita adalah suplemen bahagia anak-anak kita. Sumringah kita adalah energi bagi
mereka untuk dapat tertawa lepas. Keutuhan kita adalah ledakkan keyakinan bagi
mereka untuk bergerak melampaui impian demi impian. Jadi,
halangan apalagikah yang mengungkung kita dari keterbukaan. Beban apalagikah
yang menutup ruang hati kita untuk dapat qona’ah pada pasangan.
Rasulullah
adalah teladan yang sangat menjaga cinta pada isterinya. Dan secara beriringan,
beliau adalah teladan orangtua yang sangat mengutamakan kasih sayang dalam
proses pengasuhan.
Ibrahim
adalah suami yang taat akan apa yang Allah haruskan. Secara beriringan, beliau
berikan ketulusan kepada istri dan putranya. Prosesi meninggalkan Hajar di
padang gersang, bukan tanpa rasa berat kecuali kepatuhan pada Sang Khalik.
Merelakan Ismail untuk dikobankan, itu pun tak luput dari musyawarah yang
sangat menggetarkan antara seorang ayah dengan sang putra. Musyawarah yang tak
mengajarkan konteks otoritas, melainkan bentuk penghargaan pada sang putra
untuk sekadar mengutarakan kesiapan atau ketidaksiapan.
Lalu
darimanakah kelembutan rasa itu mengemuka jika bukan dari keikhalasan.
Darimakanah kasih sayang itu bermunculan kalau bukan dari keyakinan akan janji
Tuhan. Mari
meraih sakinah yang sesungguhnya. Mari interaksikan segala ketidaktenangan kita
dalam obrolan hangat dengan pasangan. Mari saling berjabat erat dengan pasangan
masing-masing, lalu ungkapkan kata maaf yang terdalam, ucapkan terimaksih yang
paling lirih, dan rasakan sensasi keakraban Anda bersama pasangan. Pastikan,
kehangatan Anda, mampu hangatkan cinta pada buah hati Anda. Bismillah.
Biidznillah. (Miarti Y.)
0 Komentar