Ayah Bunda…! Salah satu pola pikir yang cukup mengkarakter
pada bangsa kita adalah merasa malu atau merasa tidak percaya diri ketika tidak
sama dengan orang lain. Hal ini berlaku dalam banyak konteks, seperti fashion, makanan, dan lain-lain. Bahkan
tak terkecuali pada hal pendidikan. Sebagian besar orangtua menyekolahkan atau
mendaftarkanputra-putrinya ke sebuah universitas tertentu, dengan tujuan utama
untuk memperolah pekerjaan. Dan salah satu kelemahan dari pola pikir atau
mental yang demikian adalah sering menimbulkan kondisi dimana setiap individu
memaksakan diri untuk memenuhi kesamaan dengan orang lain.
Kondisi
tersebut akan menjadi lebih berbahaya ketika menimpa anak-anak kita. Walaupun
pada dasarnya, mudah tergoda oleh apa yang dimiliki dan atau dilakukan orang
lain itu merupakan fitrah bagi setiap anak, tetapi akan menjadi karakter
negatif jika tidak diingatkan dan tidak diluruskan. Dan meskipun bagian dari
fitrah anak itu mudah meniru serta sulit menunda keinginan, tetapi lagi-lagi
jika ditelantarkan, maka akan sangat berpotensi untuk memiliki mental pengekor.
Terkait
konteks menjadi diri sendiri, berikut saya sodorkan sebuah syair pada Anda
semua.
Aku adalah aku, aku hanyalah satu
Aku adalah aku, tak ada yang seperti aku
Aku sangat bangga, bangga pada diriku
Karena Allah memberi dari lutut hingga kaki
Tak peduli aku pendek
Tak peduli aku pesek
Aku bersyukur pada Illahi
Sekilas,
syair tersebut memang menyiratkan sebuah pesan tentang bagaimana bisa tetap
percaya diri dengan kondisi fisik seperti apapun. Tetapi sebetulnya, bila
dielaborasi alias diurai lebih jauh lagi, syair tersebut membimbing kita para
orang tua untuk meyakinkan pada buah hati tentang keleluasaan berkreatifitas
dan memegang prinsip yang substansif, tanpa harus merasa rendah diri oleh
mayoritas.
Sebagai
contoh misalnya, ketika anak kita nyaris terkena virus “musim” seperti musim
memakai aksesoris (sepatu, tas, sandal, dan lain-lain) yang terkait dengan
tokoh idola tertentu (Ben10, transformer, upin ipin, dan lain-lain).
Disaat teman-temannya pada heboh
menggunakan benda-benda tersebut, maka langkah bijak kita sebagai orang tua
tetap harus ditempuh. Dan salah satu
kewajiban kita adalah, mengingatkan dan menjelaskan bahwa, kita tidak perlu
menggunakan aksesoris yang sama dengan orang lain. Selain itu, diyakinkan juga
bahwa benda aksesoris yang kita gunakan pun tidak kalah menarik.
Menjadikan
anak-anak kita sebagai dirinya sendiri, adalah bagian dari upaya menumbuhkan
kreativitas. Dan bagian dari ciri-ciri kreatif adalah memiliki originalitas
gagasan, memiliki gagasan yan unik, serta mampu menciptakan perbedaan yang
menginspirasi. Tiga ciri tersebut bisa menjadikan anak-anak kita luar biasa.
Dan untuk menempuhnya, perlu dibangun sedini mungkin, mulai dari hal-hal
terkecil dan mulai dari hal-hal yang dekat dengan dunia mereka.
Sebaliknya,
jika anak-anak kita dibiarkan selalu bergantung pada apa yang dimiliki orang
lain, bukan tidak mungkin bagi mereka untuk menjadi pribadi yang miskin ide,
kurang daya suai, serta akan sampai pada kondisi dimana mereka mengalami
konflik batin hanya gara-gara tak mampu melampaui standar orang lain.
Adapun
langkah-langkah praktis yang bisa diupayakan dalam kehidupan sehari-hari adalah
:
1.
Berikan kesempatan untuk mencoba hal baru sampai mereka
merasa yakin bahwa eksperimennya berhasil. Contoh sederhana misalnya gaya
menyisir rambut ala diri mereka sendiri.
2.
Hargai dan apresiasi argumennya. Hal ini akan sangat
membangun kepercayaan yang cukup tinggi dan dapat meyakinkan bahwa pendapatnya
diterima.
3.
Yakinkan bahwa dirinya hebat. Contoh sederhana terkait hal
ini, misalnya ketika anak kita kurang begitu yakin dengan tugasnya untuk
membawakan tarian di acara akhir tahun di sekolahnya. Terlebih dengan tariannya
yang tidak terlalu populis. Maka mereka butuh keyakinan bahwa tarian yang
dibawakannya adalah sesuatu yang menarik (amazing).
4.
Jelaskan dengan lugas ketika mereka merengek menginginkan
sesuatu yang dimiliki teman-temannya. Dan komunikasi adalah langkah yang
sanvgat paten dalam memahamkan sesuatu terhadap seorang anak.
5.
Pilih diksi yang paling tepat atau yang bersifat
informatif dengan membiasakan diri menghindari kata “jangan”. Semakin sering
mendengar kata “jangan” maka mereka akan semakin merasa dihentak. Contoh :
“Tidak perlu sama dengan tasnya teman-teman ya…!”
Meski tidak mudah menjalankannya, namun mencoba dan membiasakan adalah
investasi yang sangat utama. Semoga kita menjadi otangtua yang cerdas dalam
meyakinkan hal terbaik untuk anak kita. Dan menjadikan mereka sebagai pribadi
yang utuh, apa adanya, berani berbeda, adalah bagian dari tugas kita yang tak
bisa dilewatkan. Semoga bermanfaat. Allohu’alam
bish showaab. (Miarti)
0 Komentar