Biarkan Mereka Menjadi Dirinya




sumber : google.com
Ayah Bunda…! Salah satu pola pikir yang cukup mengkarakter pada bangsa kita adalah merasa malu atau merasa tidak percaya diri ketika tidak sama dengan orang lain. Hal ini berlaku dalam banyak konteks, seperti fashion, makanan, dan lain-lain. Bahkan tak terkecuali pada hal pendidikan. Sebagian besar orangtua menyekolahkan atau mendaftarkanputra-putrinya ke sebuah universitas tertentu, dengan tujuan utama untuk memperolah pekerjaan. Dan salah satu kelemahan dari pola pikir atau mental yang demikian adalah sering menimbulkan kondisi dimana setiap individu memaksakan diri untuk memenuhi kesamaan dengan orang lain.
Kondisi tersebut akan menjadi lebih berbahaya ketika menimpa anak-anak kita. Walaupun pada dasarnya, mudah tergoda oleh apa yang dimiliki dan atau dilakukan orang lain itu merupakan fitrah bagi setiap anak, tetapi akan menjadi karakter negatif jika tidak diingatkan dan tidak diluruskan. Dan meskipun bagian dari fitrah anak itu mudah meniru serta sulit menunda keinginan, tetapi lagi-lagi jika ditelantarkan, maka akan sangat berpotensi untuk memiliki mental pengekor.
Terkait konteks menjadi diri sendiri, berikut saya sodorkan sebuah syair pada Anda semua.
Aku adalah aku, aku hanyalah satu
Aku adalah aku, tak ada yang seperti aku
Aku sangat bangga, bangga pada diriku
Karena Allah memberi dari lutut hingga kaki
Tak peduli aku pendek
Tak peduli aku pesek
Aku bersyukur pada Illahi
Sekilas, syair tersebut memang menyiratkan sebuah pesan tentang bagaimana bisa tetap percaya diri dengan kondisi fisik seperti apapun. Tetapi sebetulnya, bila dielaborasi alias diurai lebih jauh lagi, syair tersebut membimbing kita para orang tua untuk meyakinkan pada buah hati tentang keleluasaan berkreatifitas dan memegang prinsip yang substansif, tanpa harus merasa rendah diri oleh mayoritas.
Sebagai contoh misalnya, ketika anak kita nyaris terkena virus “musim” seperti musim memakai aksesoris (sepatu, tas, sandal, dan lain-lain) yang terkait dengan tokoh idola tertentu (Ben10, transformer, upin ipin, dan lain-lain). Disaat  teman-temannya pada heboh menggunakan benda-benda tersebut, maka langkah bijak kita sebagai orang tua tetap harus ditempuh.  Dan salah satu kewajiban kita adalah, mengingatkan dan menjelaskan bahwa, kita tidak perlu menggunakan aksesoris yang sama dengan orang lain. Selain itu, diyakinkan juga bahwa benda aksesoris yang kita gunakan pun tidak kalah menarik.
Menjadikan anak-anak kita sebagai dirinya sendiri, adalah bagian dari upaya menumbuhkan kreativitas. Dan bagian dari ciri-ciri kreatif adalah memiliki originalitas gagasan, memiliki gagasan yan unik, serta mampu menciptakan perbedaan yang menginspirasi. Tiga ciri tersebut bisa menjadikan anak-anak kita luar biasa. Dan untuk menempuhnya, perlu dibangun sedini mungkin, mulai dari hal-hal terkecil dan mulai dari hal-hal yang dekat dengan dunia mereka.
Sebaliknya, jika anak-anak kita dibiarkan selalu bergantung pada apa yang dimiliki orang lain, bukan tidak mungkin bagi mereka untuk menjadi pribadi yang miskin ide, kurang daya suai, serta akan sampai pada kondisi dimana mereka mengalami konflik batin hanya gara-gara tak mampu melampaui standar orang lain.
Adapun langkah-langkah praktis yang bisa diupayakan dalam kehidupan sehari-hari adalah :
1.      Berikan kesempatan untuk mencoba hal baru sampai mereka merasa yakin bahwa eksperimennya berhasil. Contoh sederhana misalnya gaya menyisir rambut ala diri mereka sendiri.
2.      Hargai dan apresiasi argumennya. Hal ini akan sangat membangun kepercayaan yang cukup tinggi dan dapat meyakinkan bahwa pendapatnya diterima.
3.      Yakinkan bahwa dirinya hebat. Contoh sederhana terkait hal ini, misalnya ketika anak kita kurang begitu yakin dengan tugasnya untuk membawakan tarian di acara akhir tahun di sekolahnya. Terlebih dengan tariannya yang tidak terlalu populis. Maka mereka butuh keyakinan bahwa tarian yang dibawakannya adalah sesuatu yang menarik (amazing).
4.      Jelaskan dengan lugas ketika mereka merengek menginginkan sesuatu yang dimiliki teman-temannya. Dan komunikasi adalah langkah yang sanvgat paten dalam memahamkan sesuatu terhadap seorang anak.
5.      Pilih diksi yang paling tepat atau yang bersifat informatif dengan membiasakan diri menghindari kata “jangan”. Semakin sering mendengar kata “jangan” maka mereka akan semakin merasa dihentak. Contoh : “Tidak perlu sama dengan tasnya teman-teman ya…!”
Meski tidak mudah menjalankannya, namun mencoba dan membiasakan adalah investasi yang sangat utama. Semoga kita menjadi otangtua yang cerdas dalam meyakinkan hal terbaik untuk anak kita. Dan menjadikan mereka sebagai pribadi yang utuh, apa adanya, berani berbeda, adalah bagian dari tugas kita yang tak bisa dilewatkan. Semoga bermanfaat. Allohu’alam bish showaab. (Miarti)

Posting Komentar

0 Komentar