SOMÉAH HADÉ KA SÉMAH



By : Miarti Yoga

Ada yang berpendapat bahwa bersikap ramah itu tidak penting. Karena yang jauh lebih penting dari sekadar sikap ramah adalah keimanan dan kemumpunian dalam menjaga amal ibadah.
Tetapi, pada faktanya, banyak sekali orang yang hatinya tercedarai oleh teman atau oleh saudara atau oleh orang-orang di sekelilingnya. Dari cedera itulah, muncul kemudian rasa tak suka hingga rasa dendam. Bahkan tak jarang, persaudaraan dan pertemanan jadi berakhir, hanya karena manajemen sosial yang sangat rapuh.

Ada pula yang berpendapat bahwa bersikap ramah adalah percuma jika motifnya hanya sandiwara. Sementara bersikap apa adanya alias tanpa bumbu “say hallo” atau tanpa gestur membungkukkan badan barang berapa puluh derajat, atau sekadar menyunggingkan senyum, dianggap lebih baik dibanding dengan cara mengada-ada. Dan dalam bahasa sunda, konteks demikian dikenal dengan istilah “adab lanyap” alias kesantunan yang manipulatif.

Tetapi, fakta di lapangan lebih banyak membuktikan bahwa orang yang disenangi di lingkungannya adalah orang yang rajin bertegur sapa, yang murah senyum, yang berwajah ramah, dan pandai mengatur gestur tubuh sehingga selau dalam simbol kerendah hatian.
Lalu ada pula orang yang mengaitkan konsep sikap ramah itu dengan latar belakang suku. Misalnya, orang sunda, -terutama orang priangan- bisa dipastikan jauh lebih ramah dan lebih hangat dalam memperlakukan orang. Sementara orang Sumatera dianggap lebih saklek, lebih permisif, dan cenderung tidak memperhatikan sikap lemah lembut. Sehingga kita beranggapan bahwa orang Sumatera dianggap tak bisa mengendalikan lisan. Atau dalam bahasa sunda dikenal dengan istilah “biwir teu bisa diwengku”.

Tetapi, jika dalam perspektif mental dan perspektif moral, teori pemilahan sikap berdasarkan suku itu bisa melebur.  Artinya, bagi orang yang sudah terbiasa memperhatikan tata krama atau seni berkomunikasi yang mengedapankan kesantunan, tak ada rasa berat baginya, sekalipun bersuku Sumetra atau pulau-pulau sekitarnya. Sebaliknya, bagi orang Priangan, bersikap ramah cukup berbeban baginya ketika hal demikian tak mendarah daging dalam kehidupannya. Oleh karenanya, memang  persoalan sikap ramah ini perlu kita kembalikan pada konteks islam.

Islam itu agama yang kompehensif. Kita sebagai kaum muslimin, tak cukup membekali diri dengan ibadah vertikal kepada allah SWT. Melainkan berkewajiban memperkaya diri dengan ragam tehnik berhubungan baik dengan sesama manusia. Bahkan ketika punya kesalahan kepada sesama manusia, maka kita tak cukup hanya dengan cara bertaubat kepada allah SWT, melainkan disertai dengan permohonan maaf secara langsung kepada orang yang bersangkutan.

Dan akan menjadi ironis saat kita membutuhkan dukungan tetanggga atau kolega di tempat kerja atau dari rekan bisnis, untuk suksesi atau promosi pencalonan kita dalam suatu bidang. Apakah dalam jenjang karier, dalam lingkaran bisnis, atau dalam kompetisi politik.

Cukup sulit bagi kita untuk membuka ruang komunikasi. Apalagi jika langkah kita cukup pragmatis, dimana kita meminta dukungan secara langsung. Hal ini cukup membuat orang-orang di sekitar kita memunculkan rasa skeptis dengan permintaan kita yang tiba-tiba. Sementara orang-orang di sekililing kita “kadung” menilai kita sebagai orang atau sebagai warga yang jarang sekali ada di rumah, yang jarang sekali memenuhi musyawarah warga, yang jarang sekali bersilaturahim, yang jarang sekali bertegur sapa secara natural.

Lagi-lagi, berlaku logika publik. Bahwa masyarakat sekitar akan mengakui keberadaan kita melalui ukuran eksistensi kita. Dan eksisitensi itu sendiri diukur dari hal-hal sederhana seperti saling menyapa dan saling meramaikan agenda. Sebaliknya, cara berpikir kita yang terstruktur, gagasan kita yang mencerahkan, berbagai macam teori yang kita kuasai, semuanya luput dari rekaman orang-orang sekitar jika tak muncul dalam gerakan konkrit. Mengapa demikian, karena takaran publik adalah takaran gerakan. Bukan takaran pemikiran.

Biidznillah. Mari berbagi sebanyak-banyaknya kebaikan.  Mari menabur kemanfaatan. Minimal dengan senyuman dan kesantunan.

Alloohualam bish showaab.

Posting Komentar

0 Komentar