|
Terjebak pada polemik. Demikian yang seringkali terjadi di ranah publik.
Apalagi di era digital seperti sekarang ini. Dan “perang medsos” adalah bagian
dari fenomena yang paling mengemuka.
Jika kita kaitkan dengan teori otak
manusia, ruang media sosial adalah salah satu yang berpotensi memacu salah satu
hormon bernama “dopamin” sehingga sistem kerjanya melaju pesat atau berapa kali
lipat dari kondisi normal.
Tentu saja, melesatnya homon tersebut
di luar dari multi manfaat media sosial yang sudah sangat tidak diragukan.
Namun kemelesatan (negatif) itu semata-mata karena alasan penyikapan. Karena
berlebihan dalam menggunakan, karena tidak tepat dalam memanfaatkan, atau
karena unsur ketidakdisiplinan dalam mengatur waktu. Sehingga sekian banyak
waktu tersia hanya untuk menikmati obrolan panjang dan saling menimpali.
Dan keterlenaan obrolan itu seringkali
bermuara pada konteks “saling membully”. Pun saat ada keresahan. Dengan sepuas
hati kita ungkapkan semua resah yang ada di dinding virtual itu. Rasa puas pun
diraih, saat komentar atau empati mengalir dari sekian kolega.
Selain resah, ada pula rasa kecewa,
ketidakpuasan, sikap defensif, bahkan mungkin kebencian terhadap seseorang atau
pada sebuah lembaga, atau mungkin pada sekelompok orang, atau mungkin pula pada
pihak rival. Sekian rasa itu diungkapkan verbal sebagai sebentuk interupsi.
Lalau kita lemparkan pada khalayak dengan harap bisa ditanggapi dengan ramai.
Alhasil, lingkaran pertemanan kita
memahami arah lemparan interupsi kita ditujukan kepada siapa. Maka ramailah
para follower kita bersama-sama menyuarakan antipati pada orang atau pihak yang
kita tuju. Lagi-lagi, kita dan lingkaran pertemanan kita merasa terpuaskan
dengan intrupsi kita yang telah berhasil menjadi bahan diskusi.
Sayangnya, kita terlupa bahwa jati
diri kita mengabur sedemikian rupa karena sikap kita sendiri. Kita lupa bahwa
sekian banyak orang –bahkan mungkin melebihi jumlah lingkaran pertemanan kita-
yang tidak berperspekif sama dengan kita. Pada akhirnya, mereka bukan turut bersuara
sama seperti kita, melainkan sangat kontradiktif dengan apa yang kita
interupsikan.
Lebih disayangkan lagi, saat munculnya
rumor yang mengangkat sisi negatif rival. Terlepas apakah itu rival politik,
rival bisnis, dan atau sejenisnya. Kita anggap hal demikian, seolah sebuah
fakta dengan tingkat akurasi yang tergaransi. Apalagi dilengkapi dokumen berupa
gambar-gambar. Padahal adanya, belum tentu benar. Karena dalam permainan media,
“kontekstual” itu bisa didesain. Antara gambar dan narasi, bisa saja dikesankan
satu kesatuan utuh yang layak “dilahap” sebagai berita.
Tetapi begitu pragmatisnya kita
“melahap” berita demikian. Dengan sesuka hati, menyebarluaskannya ke banyak link atau grup chatting. Bahkan dengan sangat emosional, kita seolah tak sabar
menunggu terkait kapan berita serupa kembali mengemuka, sehingga kelak kita
bisa kembali lakukan selebrasi pembulian rival.
Sedih hati, jika ini semakin refleks
terjadi. Pada kita, pada barisan kita, pada kekompakan cara berpikir kita, yang
secara sadar mengakui bahwa langkah kita adalah langkah dakwah. Dan
bagaimanakah spirit berbagi kebaikan itu bisa dirasakan publik jika lagi dan
lagi kita sangat senang menadah berita-berita senasional yang belum jelas
darimana sumbernya. Bagaimana kita tidak merugi, jika mereka yang seringkali
kita teriaki, justru merekalah yang menang dalam mendulang popularitas.
Sementara kita kadang-kadang hanya mendapat lelah.
Kiranya, kembali kita bertafakkur
bahwa melakkan gerakan terbaik adalah jauh lebih mulia dari sekadar menunjukkan
kebencian secara masif. Bahwa konsisten dalam berbagi inspirasi, adalah jauh
lebih membuka peluang jaringan dibandingkan dengan beramai-ramai buktikan
defensif yang hanya akan mempertegas eksklusivitas kita.
Dan lima prinsip berikut, kiranya
dapat menjadi penawar untuk bersikap lebih elegan dalam hal berkomunikasi
virtual.
Pertama. Selami persepsi
publik. Bahwa khalayak tak berarti satu berpikir yang sama atau satu idealisme
bersama kita. Oleh karenany, berhai-hatilah dalam mengungkapkan ketaksetujuan.
Kedua. Berikan tabir yang
jelas antara tegas dengan kasar. Kesalahan yang sangat fatal sekalipun, jika
kita ingatkan dengan kasar, maka hanya akan diterima sebagai sebuah lelucon dan
mengundang reaksi yang sangat refleks. Sebaliknya, sikap tegas akan jauh lebih
diterima, meski sebagian orang masih tak sepaham dengan apa yang kita ingatkan.
Tetapi setidaknya, dalam tegas itu unsur amar ma’ruf nahy munkar. Dalam tegas
itu ada transformasi idealisme.
Ketiga. Hindari berinterupsi
dengan model-model grafiti. Dengan model ini, suara kita hanya sampai pada
tingkat menceracau, menyindir, meluapkan kesal tanpa batas, menghina lawan
tanpa tedeng aling-aling, menyoraki kesalahan lawan dengan melebihi batas
manusiawi. Padahal sesungguhnya, kita sendiri belum tentu siap saat harus
menerima cibiran yang sangat tak proposional.
Keempat. Sahabatkan diri kita
dengan dunia literasi. Ini bukan sebuah penggiringan atau pemaksaan kapasitas
sehingga kita mampu menulis. Tetapi paling tidak, kita bisa mengungkapkan rasa
secara terstruktur. Bukan spontanitas yang hanya berharap akan respons “suka”
atau “komentar”. Karena saat kita berliterasi, tanpa sadar kita tertuntut untuk
lebih hati-hati, baik dari sisi mekanisme penulisan maupun dari substansi yang
ingin kita suarakan.
Kelima. Berhati-hati dalam
menyebar informasi atau lebih dikenal degan istilah “copy paste”. Alasan
pertama, bukan peroalan larangan menyebarkan kebaikan. Melainkan, bagaimana
kita merasa percaya diri dengan wacana atau inspirasi yang ciptakan. Dan
semakin terbiasa, insyaAllah kita semakin produktif. Layaknya kita berceramah
atau “public speaking” di depan audiens. Bedanya, ceramah itu konteks lisan.
Sementara literasi, adalah konteks lisan yang dituangkan ke dalam tulisan.
Alasan kedua, karena berita akurat dengan berita “abal-abal” sama-sama bertebaran
banyak dan sama-sama mudah didapat. Sehingga bukan tak mungkin, kita
tergelincir untuk sebarkan berita “hoax”.
0 Komentar