Interupsi, Grafiti dan Literasi








Oleh : Miarti Yoga

 Konsultan Pendidikan Anak Usia Dini
 Direktur Lembaga Pendidikan Zaidan Educare

Terjebak pada polemik. Demikian yang seringkali terjadi di ranah publik. Apalagi di era digital seperti sekarang ini. Dan “perang medsos” adalah bagian dari fenomena yang paling mengemuka.
Jika kita kaitkan dengan teori otak manusia, ruang media sosial adalah salah satu yang berpotensi memacu salah satu hormon bernama “dopamin” sehingga sistem kerjanya melaju pesat atau berapa kali lipat dari kondisi normal.
Tentu saja, melesatnya homon tersebut di luar dari multi manfaat media sosial yang sudah sangat tidak diragukan. Namun kemelesatan (negatif) itu semata-mata karena alasan penyikapan. Karena berlebihan dalam menggunakan, karena tidak tepat dalam memanfaatkan, atau karena unsur ketidakdisiplinan dalam mengatur waktu. Sehingga sekian banyak waktu tersia hanya untuk menikmati obrolan panjang dan saling menimpali.
Dan keterlenaan obrolan itu seringkali bermuara pada konteks “saling membully”. Pun saat ada keresahan. Dengan sepuas hati kita ungkapkan semua resah yang ada di dinding virtual itu. Rasa puas pun diraih, saat komentar atau empati mengalir dari sekian kolega.
Selain resah, ada pula rasa kecewa, ketidakpuasan, sikap defensif, bahkan mungkin kebencian terhadap seseorang atau pada sebuah lembaga, atau mungkin pada sekelompok orang, atau mungkin pula pada pihak rival. Sekian rasa itu diungkapkan verbal sebagai sebentuk interupsi. Lalau kita lemparkan pada khalayak dengan harap bisa ditanggapi dengan ramai.
Alhasil, lingkaran pertemanan kita memahami arah lemparan interupsi kita ditujukan kepada siapa. Maka ramailah para follower kita bersama-sama menyuarakan antipati pada orang atau pihak yang kita tuju. Lagi-lagi, kita dan lingkaran pertemanan kita merasa terpuaskan dengan intrupsi kita yang telah berhasil menjadi bahan diskusi.
Sayangnya, kita terlupa bahwa jati diri kita mengabur sedemikian rupa karena sikap kita sendiri. Kita lupa bahwa sekian banyak orang –bahkan mungkin melebihi jumlah lingkaran pertemanan kita- yang tidak berperspekif sama dengan kita. Pada akhirnya, mereka bukan turut bersuara sama seperti kita, melainkan sangat kontradiktif dengan apa yang kita interupsikan.
Lebih disayangkan lagi, saat munculnya rumor yang mengangkat sisi negatif rival. Terlepas apakah itu rival politik, rival bisnis, dan atau sejenisnya. Kita anggap hal demikian, seolah sebuah fakta dengan tingkat akurasi yang tergaransi. Apalagi dilengkapi dokumen berupa gambar-gambar. Padahal adanya, belum tentu benar. Karena dalam permainan media, “kontekstual” itu bisa didesain. Antara gambar dan narasi, bisa saja dikesankan satu kesatuan utuh yang layak “dilahap” sebagai berita.
Tetapi begitu pragmatisnya kita “melahap” berita demikian. Dengan sesuka hati, menyebarluaskannya ke banyak link atau grup chatting. Bahkan dengan sangat emosional, kita seolah tak sabar menunggu terkait kapan berita serupa kembali mengemuka, sehingga kelak kita bisa kembali lakukan selebrasi pembulian rival.
Sedih hati, jika ini semakin refleks terjadi. Pada kita, pada barisan kita, pada kekompakan cara berpikir kita, yang secara sadar mengakui bahwa langkah kita adalah langkah dakwah. Dan bagaimanakah spirit berbagi kebaikan itu bisa dirasakan publik jika lagi dan lagi kita sangat senang menadah berita-berita senasional yang belum jelas darimana sumbernya. Bagaimana kita tidak merugi, jika mereka yang seringkali kita teriaki, justru merekalah yang menang dalam mendulang popularitas. Sementara kita kadang-kadang hanya mendapat lelah.
Kiranya, kembali kita bertafakkur bahwa melakkan gerakan terbaik adalah jauh lebih mulia dari sekadar menunjukkan kebencian secara masif. Bahwa konsisten dalam berbagi inspirasi, adalah jauh lebih membuka peluang jaringan dibandingkan dengan beramai-ramai buktikan defensif yang hanya akan mempertegas eksklusivitas kita.
Dan lima prinsip berikut, kiranya dapat menjadi penawar untuk bersikap lebih elegan dalam hal berkomunikasi virtual.
Pertama. Selami persepsi publik. Bahwa khalayak tak berarti satu berpikir yang sama atau satu idealisme bersama kita. Oleh karenany, berhai-hatilah dalam mengungkapkan ketaksetujuan.
Kedua. Berikan tabir yang jelas antara tegas dengan kasar. Kesalahan yang sangat fatal sekalipun, jika kita ingatkan dengan kasar, maka hanya akan diterima sebagai sebuah lelucon dan mengundang reaksi yang sangat refleks. Sebaliknya, sikap tegas akan jauh lebih diterima, meski sebagian orang masih tak sepaham dengan apa yang kita ingatkan. Tetapi setidaknya, dalam tegas itu unsur amar ma’ruf nahy munkar. Dalam tegas itu ada transformasi idealisme.
Ketiga. Hindari berinterupsi dengan model-model grafiti. Dengan model ini, suara kita hanya sampai pada tingkat menceracau, menyindir, meluapkan kesal tanpa batas, menghina lawan tanpa tedeng aling-aling, menyoraki kesalahan lawan dengan melebihi batas manusiawi. Padahal sesungguhnya, kita sendiri belum tentu siap saat harus menerima cibiran yang sangat tak proposional.
Keempat. Sahabatkan diri kita dengan dunia literasi. Ini bukan sebuah penggiringan atau pemaksaan kapasitas sehingga kita mampu menulis. Tetapi paling tidak, kita bisa mengungkapkan rasa secara terstruktur. Bukan spontanitas yang hanya berharap akan respons “suka” atau “komentar”. Karena saat kita berliterasi, tanpa sadar kita tertuntut untuk lebih hati-hati, baik dari sisi mekanisme penulisan maupun dari substansi yang ingin kita suarakan.
Kelima. Berhati-hati dalam menyebar informasi atau lebih dikenal degan istilah “copy paste”. Alasan pertama, bukan peroalan larangan menyebarkan kebaikan. Melainkan, bagaimana kita merasa percaya diri dengan wacana atau inspirasi yang ciptakan. Dan semakin terbiasa, insyaAllah kita semakin produktif. Layaknya kita berceramah atau “public speaking” di depan audiens. Bedanya, ceramah itu konteks lisan. Sementara literasi, adalah konteks lisan yang dituangkan ke dalam tulisan. Alasan kedua, karena berita akurat dengan berita “abal-abal” sama-sama bertebaran banyak dan sama-sama mudah didapat. Sehingga bukan tak mungkin, kita tergelincir untuk sebarkan berita “hoax”.

Asrama POLRI Sukamiskin, Desember 2015

Posting Komentar

0 Komentar