Membentengi Sekolah dari 'Predator' Anak

Membentengi Sekolah dari Predator Anak

Membentengi Sekolah dari Predator Anak
PKS Kota Bandung - Membentengi Sekolah dari Predator Anak


Sekolah adalah tempat dimana orang tua menitipkan anaknya dalam menjalani masa tumbuh kembangnya. Sebesar apapun peran orang tua dalam proses pembelajaran anaknya, sekolah punya peran strategis yang sulit rasanya digantikan oleh orang tua kecuali dalam keadaan yang benar-benar khusus.

Namun demikian, belakangan ini kejahatan pelecehan seksual terhadap anak justru dilakukan oleh pihak yang bekerja dan/atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan kerja dengan pihak sekolah. Misalnya dalam kasus dugaan pelecehan seksual anak yang terjadi di Jakarta International School (JIS), tersangkanya adalah karyawan out sourcing di sekolah tersebut.

Dalam tataran lokal, terjadi pula kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur di salah satu sekolah dasar terkemuka di Bandung. Terduga pelaku adalah seorang sopir antar jemput sekolah, yang terbiasa “jail” dan sering memegang kemaluan para korban. Pembuktian tindakan pelaku menjadi sulit, karena visum at repertum tidak akan dapat mendeteksi bekas rabaan dan/atau pegangan di alat kelamin korban. Hal ini berbeda dengan kasus sodomi yang “mudah” teridentifikasi bila ada luka di bagian anus.

Menghadapi bahaya kejahatan tersebut, setiap sekolah perlu memiliki Standard Operational Procedure (SOP) yang mengatur tata cara interaksi warga sekolah. SOP ini tidak hanya meliputi interakasi guru dan muridnya, tapi juga mengatur interaksi dan pengawasan terhadap supir, cleaning service, dan warga sekolah lainnya agar kejadian pelecehan seksual dapat dihindari sedari awal.

Setiap warga sekolah, harus mulai mengenal dan mempraktikan apa yang disebut dengan “underwear rule” dimana setiap orang harus mengenal bagian tubuh mana saja yang boleh dipegang dan mana yang tidak boleh dipegang bahkan dengan maksud bercanda sekalipun. Setiap anak, orang tua, guru, dan bahkan semua pihak harus menghormati peraturan ini.

Lebih jauh lagi, sekolah yang dalam hal ini sebagai lembaga penyedia layanan pendidikan harus memperhatikan setiap latar belakang pekerjanya mulai dari kepala sekolah, guru, supir antar jemput, dan lainnya agar dapat dipastikan bahwa setiap orang yang terlibat dalam aktifitas kegiatan sekolah baik itu dalam rangka kegiatan belajar mengajar atau kegiatan lainnya bisa dipastikan tidak bermasalah di tempat kerja sebelumnya.

Kepemilikan SOP dan rekam jejak ini menjadi penting bagi sekolah setidaknya dalam dua hal, pertama; tentang tanggung jawab sekolah atas perbuatan pekerjanya, dalam Pasal 1367 KUHPerdata menyatakan;

“Seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang – orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada dibawah pengawasannya. 

Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan perkerja yang ditugaskan kepada orang-orang itu.”

Jadi sangat jelas, bahwa pihak sekolah dalam ketentuan yang diatur dalam pasal 1367 KUHPerdata harus bertanggung jawab segala tindakan pegawainya selama dalam jam kerja.

Kedua, untuk menunjukan itikad baik dan membatasi tanggung jawab sekolah. Misalnya bila sekolah sudah membuat SOP serta telah mengkonfirmasi status pekerjanya tidak bermasalah di tempat mereka bekerja sebelumnya, namun masih terjadi juga pelecehan seksual, maka sekolah dapat membuktikan pada kepolisian dan aparat hukum lainnya bahwa sekolah sudah beritikad baik dalam proses pencegahan pelecehan seksual anak.

Pada akhirnya melindungi anak-anak di sekolah tidak saja menyelamatkan orang perorangan, namun lebih besar lagi kita sedang menyelamatkan masa depan generasi penerus bangsa.

Firman Hidayat,SH
Direktur Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia 
Cabang Jawa Barat

Artikel Lainnya :