Dalam Cinta, Yang Ada Hanyalah Kesiapan Menanggung Beban

PKS

Siang hari adalah waktu yang tak biasa bagi kami melingkar. Halaqah-halaqah kami memang biasanya dilakukan sore hari. Di penghujung aktivitas, untuk melepas segala penat. Disanalah kami biasa mencurahkan segala hal, dimana saudara selekat perangko dengan amplopnya.

Hari itu kultum (kuliah tujuh menit)-nya seputar 'keutamaan menyantuni janda dan dhuafa'. Diantara hal-hal yang akan membawa kita mendekati pelataran syurga adalah melakukan satu diantara perkara di atas. Pembahasan pun berkelana kesana kemari, hingga hikmah itu sampai dari mulut salah seorang dari kami.

"Saya punya seorang teman, ikhwan (laki-laki), beberapa waktu lalu ia menikah tapi ia tidak memasang fotonya dengan istrinya setelah menikah. Ia justru memasang fotonya bersama orangtuanya" paparnya, mengawali cerita.
Mengapa? Barangkali itu yang muncul di benak kita. Dan cerita pun berlanjut,

"Sampai beberapa waktu ia tidak memasangnya. Kebetulan saya berhalangan hadir waktu pernikahannya. Maka saya pun penasaran, sebenarnya seperti apa rupa istrinya? Apa dia tidak berbahagia sehingga ia tak memasang foto bersama istrinya layaknya pengantin baru pada umumnya?"
Kami semakin penasaran dengan kisah itu.

"Sampai beberapa waktu lamanya, akhirnya ikhwan itu memasang fotonya bersama seorang perempuan yang dalam perkiraanku usianya lebih tua darinya. Ya, cukup jauh. Ternyata ia adalah istri ikhwan itu. Dan benar, usianya sudah 42 tahun, sementara teman saya itu baru berusia 26 tahun." lanjutnya, semakin membuat kami penasaran. 

"Masya Allah," Jawab kami kompak. "Kok bisa? Bagaimana ceritanya?" Kami pun memberondong teman kami dengan pertanyaan.

"Ternyata teman saya itu menikah dengan seorang janda, beranak enam."
"Apa? Kok bisa? memang sudah nggak ada lagi gadis yang bisa ia nikahi? Atau bagaimana?"
"Sabar...nggak sabaran banget, biarkan Dwi meneruskan ceritanya dong!"

"Istrinya itu, dulu di pernikahan pertamanya ditinggalkan oleh sang suami, tanpa diberi nafkah. Sementara ia harus membesarkan anak-anaknya. Ia berdagang makanan untuk membesarkan mereka. Hingga sekarang, dua anaknya sudah menikah, satu akan masuk kuliah, satu masih SMA, sementara dua lagi masih kecil-kecil. Begitu ikhwan teman saya itu menikahinya, ia katakan pada istrinya 'Sudah, jangan bekerja lagi. biar aku yang menanggung kebutuhan kamu dan anak-anak'."
"Masya Allah....." kompak kami menyahut, barangkali merindingnya kami pun kompak.

Cerita itu pun dilanjutkan. Satu pelajaran yang kami pelajari disana sebenarnya tak hanya soal ikhwan itu. Tapi juga kebesaran hati orangtuanya untuk mengizinkan putranya menikahi janda, tak seperti kebanyakan pemuda pada umumnya. Apalagi janda yang dinikahinya bukan janda yang masih muda, tapi justru janda yang harus ditanggung kebutuhannya dan kebutuhan anak-anaknya. Allahuakbar! Semoga Allah melimpahkan keberkahan pada keluarga itu, dan menumpahkan cinta-Nya pada orangtua pemuda itu, karena telah mengizinkan anaknya menunaikan dua sunnah Rasul sekaligus : menikah, dan menyantuni janda.

Sungguh, kita tidak akan memahami kekuatan apa yang mampu membuat pemuda itu memutuskan hal yang luar biasa itu bukan? Keputusan yang tak biasa, dan melibatkan banyak gejolak perasaan. Teringat satu quotes yang pernah disampaikan Anis Matta dalam buku Serial Cinta, 'Menikah bukanlah sekedar soal kesiapan menafkahi, tapi soal kesiapan menanggung beban'. Benar sekali. Sungguh jika hanya soal menafkahi, maka menyantuni dengan cara memberi santunan tanpa menikahi pun selesai urusannya. Tapi tidak dengan pemuda ini. Dengan menikahi istrinya itu, bukankah ia menanggung lebih dari sekedar beban nafkah? Bukankah disana ada hati istri yang harus juga dipenuhi haknya untuk dicintai? Ada anak-anak yang harus ditanggung kewajiban pendidikannya? Bukankah disana ada orangtua yang harus ditanggung juga beban perasaanya menerima pernikahan anaknya yang tak biasa?

Maka dalam cinta, yang ada hanyalah kesiapan menanggung beban. Tanpa kita bisa mengira, menikah dengan pemuda ini juga pasti bukan keputusan mudah bagi sang istri. Ia pun sesungguhnya menanggung beban dalam memutuskan keputusan besar yang akan mengubah hidupnya itu. 

Pernikahan yang benar-benar penuh cinta. Barangkali itu yang bisa kita sematkan pada kisah ini. Dua sunnah ia padukan sekaligus. Benar. Dalam cinta (pada perintah Allah dan sunnah Rasul-Nya), yang ada hanyalah kesiapan menanggung beban! (RD)


Posting Komentar

0 Komentar