Bobo Doll, Emon Sukabumi, dan Nasib Anak Cucu Kita




Bobo Doll, sebuah eksperimen yang menguji apakah seorang anak akan meniru apa yang mereka lihat. Sekelompok balita ditaruh dalam sebah ruangan. Di dalam ruangan tersebut terdapat boneka seukuran manusia. Lalu tiba-tiba datang seorang dewasa masuk ke dalam ruangan lalu memukul dan menyiksa boneka tersebut dengan beringas. Balita yang ada di dalam ruangan melihat peristiwa tersebut. Setelah beberapa kali percobaan, diujilah perilaku balita pasca menonton pemukulan boneka tersebut. Ternyata sang balita yang menonton penyiksaan bobo doll cenderung lebih agresif dan ikut menyiksa saat diberi boneka di hadapannya. Ulasan penelitian tersebut dapat dilihat di sini

Fenomena JIS menguak sisi kelam kehidupan generasi muda kita. Bermunculan laporan dari pelosok Indonesia bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di Jakarta. Di Sukabumi sudah ada lebih dari 105 korban dari tersangka pengidap paedofilia bernama Emon. Di Sumedang sudah menginjak angka 10 korban tersangka lain. (Baca ini). Jawa Tengah pun tak luput. Sudah ada beberapa korban. Fenomena ini seperti mengeluarkan bangkai yang selama ini tersimpan di laci. Dia ada, samar tercium, tapi kita seperti pura-pura tak tahu.

Menyaksikan bahwa ratusan korban itu menjalani hidup dengan trauma masa kecilnya adalah suatu hal yang memilukan. Apalagi berkaca pada eksperimen Bobo Doll, maka menerima bahwa ratusan bocah tersebut berpotensi menjadi pemangsa ala Emon selanjutanya di masa depan, adalah suatu hal yang sulit dielakkan. Tak hanya mlihat, mereka bahkan menjadi korban kekerasan seksual. Otak mereka akan merekamnya. Namun kita berdo’a semoga hal tersebut tidak akan mereka tiru di masa depan. Bencana besar bila ternyata 100 korban Emon akan menjadi Emon selanjutnya dimana masing-masing mempunyai 100 korban selanjutnya, begitu seterusnya selama bergenerasi-generasi. Belum lagi ditambah resiko penyakit menular seksual yang akan menular kepada pasangan mereka, anak-anak mereka, keluarga mereka. Dunia macam apa yang akan dihuni oleh keturunan kita nantinya?

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menjadikan mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Ar-Ruum 41

Dalam ayat tersebut, kita belajar beberapa hal. Pertama, bahwa kerusakan yang terjadi di bumi adalah akibat tangan kita sendiri, akibat pelanggaran yang kita lakukan sendiri. Pelanggaran kita terhadap perintah Sang Pencipta. Mungkin pelanggaran kita karena tak mendidik dan menjaga anak sesuai nilai islam. Mungkin karena kecerobohan kita membiarkan konten pornografi dan pornoaksi menyebar luas, menyebabkan orang berperilaku seksual menyimpang. Mungkin juga karena kita salah memilih pemimpin dari Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah, Ketua RW, bahkan hingga Ketua RT sehingga mereka tidak mampu melindungi rakyatnya dari kejahatan seksual. Kedua, kita menemukan bahwa kerusakan itu juga bermakna panggilan kasih sayang, agar kita kembali ke Jalan yang benar, kepada Allah. ‘…agar mereka kembali (ke jalan yang benar)’. Maka saat kita kembali, kerusakan itu akan sirna.

Lantas apa yang menghalangi kita dari bergerak untuk kembali pada Allah? Kita perbaiki semua pelanggaran kita. Kita jaga anak-anak kita, kita kuatkan dengan pendidikan agama. Kita bisa ajukan pemblokiran konten porno, misalnya melalui proyek nawala (Klik Pengaduan Pornografi) agar konten pornografi dan pornoaksi tidak beredar. Saat pemilu, kita bisa memilih pemimpin yang dapat melindungi warganya. Kita bahkan bisa memulai dengan memilih kubu politik yang setuju Undang-Undang anti pornografi dan pornoaksi, bukan sebaliknya. Kita bisa meminta Walikota, Camat, Lurah hingga Ketua RT untuk membuat program yang mampu melindungi anak-anak kita. Kita pun bisa menggalakkan pendidikan parenting agar lebih siap dalam melaksanakan pendidikan bagi anak, tak sekedar ‘membesarkan’ mereka. Banyak hal bukan? Mari berbuat sesuatu!

Apatah lagi yang kita harapkan lebih daripada kebaikan bagi anak-anak kita nanti? (Rio Aurachman | @rio_aurachman)

Posting Komentar

0 Komentar