Controllable dan uncontrollable variable. Di jurusan tempat saya kuliah, Teknik Industri, ada mata kuliah tentang pemodelan sistem. Di kelas kami diajarkan untuk membuat persoalan menjadi sebuah rumus matematika. Misal Ibu hendak ke pasar dan bingung membeli apa dengan uang 50 ribu. Insinyur industri harus bisa membuat rumus matematika untuk membantu Ibu belanja. Ketika menenetukan model matematika, ada yang namanya variabel yang bisa dikontrol dan variabel yang tidak bisa dikontrol.
Ketika kita hendak pergi
ke luar rumah kemudian melihat ciri akan terjadi hujan, maka hujan atau tidak hujan adalah
uncontrollable variable, sebuah faktor yang tidak bisa kita otak atik. Untuk menghadapi uncontrollable variable ini kita hanya bisa bertawakal kepada Allah.
Namun soal membawa payung atau tidak, membawa jas hujan atau tidak adalah
controllable variable (Variabel atau hal yang bisa dikontrol-dikendalikan). Dalam
hal itulah kita berikhtiar secara optimal, kita berusaha dengan usaha yang
terbaik untuk membawa payung saat keluar rumah.
Konsep pemodelan matematika ini
saya rasa memecahkan masalah benturan ikhtiar dan tawakal. Kita sering bingung
kapan harus ikhtiar dan kapan harus tawakal. Misalnya saja ketika ujian penerimaan kerja
atau ujian nasional. Meghitamkan LJK (Lembar jawab komputer) dengan
sungguh-sungguh, belajar secara tekun, dan konsentrasi mengerjakan adalah
controllable variable. Di zona itulah kita berikhtiar dengan sebaik mungkin.
Tapi jika permasalahannya adalah LJK-nya nanti tertinggal, soalnya lebih sulit
dari yang disiapkan, tiba-tiba tubuh terserang diare, itu semua adalah
uncontrollable variable, sebuah kondisi yang tidak bisa kita kendalikan, maka
tugas kita adalah berserah diri kepada Allah.
Namun ada kondisi dimana controllable variable bisa berubah menjadi
uncontrollable variable. Misalkan kita tidak punya payung di saat mendung, bisa
saja kita membeli payung, tapi ternyata toko payungnya berjarak 30 km. Maka
harus kita putuskan bahwa payung itu menjadi variabel yang tidak bisa
dikontrol. Ini saatnya kita berserah diri.
Seiring perjalanan hidup manusia, kemampuan dirinya
bertambah. Maka hal-hal yang awalnya merupakan uncontrollable variable dapat menjadi controllable variable. Misalkan pada awalnya manusia harus berpasrah diri
dengan cuaca. Namun ternyata seiring perkembangan teknologi manusia bisa
merekayasa cuaca menggunakan pesawat dan zat yang ditumpahkan ke awan. Maka
dalam kasus ini cuaca menjadi controllable variable. Kita bisa berikhtiar pada wilayah tersebut untuk kemudian bertawakal terkait hasilnya, setelah tuntas dan optimal
berikhtiar. Karena soal cuaca berubah setelah rekayasa atau tidak, tetaplah wilayah uncontrollable variable.
Pengertian ini tidak serta merta mengatakan bahwa kita
mengambil kuasa Tuhan. Allah melimpahkan kepada kita sedikit dari tak berhingga ilmu-Nya untuk bisa kita manfaatkan. Sayangnya manusia seringkali
sombong begitu mampu menguasai sedikit saja teknologi. Manusia menjadi angkuh ketika bisa membuat
mobil, ketika bisa terbang seperti burung, atau bahkan menyelam bagaikan paus.
Controllable variable memang bertambah. Namun uncontrollable variable sebenarnya masih
lebih banyak. Masih banyak yang harus di-tawakal-kan. Pada kasus manusia mampu
membuat satelit dan bom nuklir penghancur meteor pun, jika ternyata ada
meteor sebesar bulan yang terbang ke arah bumi, bom nuklir tak bisa
menghambatnya. Perihal anggota tubuh pun kita masih tak berdaya dihadapan
Tuhan. Kita tidak bisa menumbuhkan organ terpotong. Kita tidak bisa
menghidupkan yang mati. Wilayah tawakal kita senantiasa lebih besar.
Namun tenang saja, manusia dibebani sesuai dengan kemampuannya, sesuai dengan controllable
variable miliknya. Maka mari berikhtiar yang kita bisa, dan berpasrah diri pada
hal yang kita tidak bisa. Kembangkan diri kita setinggi mungkin sehingga
uncontrollable variable berubah menjadi controllable variable. Semakin banyak
controllable variable, semakin besar pula ladang amal dan pahala yang bisa kita
cetak.
Kembangkanlah kemampuanmu setinggi mungkin, sehingga Tuhan pun
akan ber-“konsultasi”
denganmu sebelum menentukan takdir-Nya untukmu.
— Muhammad Iqbal
Wallahu a'lam. (Rio Aurachman)
0 Komentar