Saya mungkin bukan siapa-siapa di jalan dakwah ini. Bukan muassasis, bukan assaabiqqunal awwaluun, bukan pula qiyadah yang turut berpeluh membesarkan dakwah. Bisa jadi saya hanyalah sekedar penumpang, yang turut bayar tiket, taat aturan perjalanan, tidak suka mengotori kereta, dan tak memiliki keberanian untuk turun loncat di tengah perjalanan.Apalagi "sok tahu" menasihati masinis kereta.
Sepanjang perjalanan itu, saya cermati laju dakwah ini, acap memperhatikan dan bertemu dengan beragam penumpang. Mereka berasal dari latarbelakang, suku, bahasa, hobi, kebiasaan, hingga style hidup yang berbeda pula. Akan tetapi persamaan di antara mereka sangat kentara. Yaitu sama-sama: tidak merokok!
Karena perjalanan dan jarak tempuh yang jauh. Plus kondisi rel yang kadang naik turun, berkelok, bahkan di beberapa tempat sering anjlok. Saya perhatikan, tak sedikit penumpang itu yang turun ketika kereta anjlok. Malah ada penumpang yang tidak puas. Bukan sekedar turun, namun ia caci maki masinis, para penumpang yang masih bertahan, hingga mencoret-coret kereta dengan kata-kata yang terkadang menyakitkan.
Saya sebagai penumpang baru, tak tahan untuk bertanya; mengapa tim teknis yang dahulu merancang perjalanan, mendesain format kereta, dan menentukan masinis, namun berhenti di tengah jalan saat kereta anjlok? Bukankah memang rel kereta yang akan dilalui itu berkelok, jauh, dan melewati rintangan yang tak sedikit?
Saya memiliki kesimpulan sendiri. Semua itu berbasis pada pemahaman. Kesimpulan itu adalah:
1. Pemahaman tentang dakwah itu tidak dilihat sejak kapan ia bergabung dengan dakwah. Tapi pemahaman itu dilihat dari kesigapan kader-kader dakwah menghadapi turbulensi, anjlok, jalan berkelok, hutan belantara, dan mungkin lokomotif yang bermasalah.
Karena suatu fikroh yang brilian akan sirna, ketika ia mengalami erosi pemahaman; => Erosi karena paradigma yang sempit dan sektoral. => Erosi karena pola sikap yang tidak beranjak kepada hal-hal substansial. => Erosi karena energi (waktu-sumber daya) untuk kerja tersita hal-hal yang sia-sia. => Erosi karena mencampuradukkan antara wasilah (proses) dengan tujuan (ghayah).
2. Pemahaman tentang dakwah tidak dilihat dari posisi/marhalah/level atau jabatan apa yang diemban seorang kader dakwah.
Tak sedikit yang salah kaprah memahami marhalah atau jenjang dalam dakwah. Ada yang menganggapnya sebagai karir. Adapula yang menjadikannya sebagai takrim (pemuliaan). Padahal saat berada di level/marhalah dakwah itulah, ujian pemahaman sebenarnya tengah dimulai dan terus berlangsung. Malah menurut perhatian saya, sering menemukan penyimpangan pemahaman itu terjadi di level-level tinggi. Penyebabnya: => Ketidakmampuan membaca kondisi dan telah dikontrol hawa nafsu. => Takjub dengan pendapat sendiri, bahwa pendapatnya yang paling benar. => Penakwilan yang tidak tepat. => Menjadikan AD/ART organisasi atau manhaj sebagai tabi' (follower) bukan lagi matbu' (yang diikuti).
3. Pemahaman tentang dakwah pula tidak dilihat dari berapa jenis buku yang dilahap, berapa Doktor yang ditalaqqi, berapa pelatihan yang dijalani.
"Medan retorika berbeda dengan medan imajinasi. Medan kerja tidak sama dengan medan retorika. Medan jihad tak sama dengan medan kerja.Medan jihad yang benar berbeda dengan medan jihad yang salah."
Atas dasar ini, saya paham, bahwa tak ada yang menentukan laju jalan dakwah ini selain tiga hal: (1). Persepsi yang sama tentang visi-misi dakwah; (2). Keyakinan mendalam bahwa dakwah ini adalah elemen terpenting bagi kebangkitan umat; (3). Kesatuan hati dan derap langkah, tidak berhenti di jalan dan juga tidak menjadi qodhoya adalah hal yang dapat mempercepat laju dakwah ini.
0 Komentar