Peran Ridwan Kamil dalam Membangun Kota Surabaya


Banyak orang Bandung skeptis dan apatis terhadap pembenahan kota Bandung dengan segala carut marut problematikanya. Padahal kalo mau sedikit saja belajar dari kota tetangga, kita bisa melihat contoh sukses Surabaya bebenah dibantu Ridwan Kamil. Hal ini dipapar jelas dalam buku “Bambang DH Membangun Surabaya“  karangan Ridho Saiful Ashadi yang terbit awal 2013

Menjadi Bambang D.H pada periode 1999-2002 Sungguh tak mudah. Mendapat tekanan dari partai sendiri , di jauhi wakil kotanya sendiri, mendapat serangan dari DPRD-nya sendiri, dan di tentang birokrasinya sendiri. Situasinya menjadi salah satu cobaan paling sulit yang pernah diterima oleh politisi Indonesia manapun.

Sekda yang membangkang , kultur birokrasi yang lamban dan ogah-ogahan, tata kota yang rusak berat, sampah yang tercecer di mana-mana, banjir yang sampai menelan korban jiwa, aparat pemerintahan yang bahkan sampai disebut ” Kumpulan Maling Surabaya” . Kumpulan hal ini menjadikan Surabaya sebagai salah satu tantangan paling berat bagi wali kota manapun di Indonesia.

Tapi, Bambang D.H membuktikan telah mampu melewati salah satu ujian politik dan reformasi birokrasi paling berat di Indonesia. Padahal, awalnya Bambang D.H sempat diragukan.Bertampang jalanan, track record yang hanya menjadi aktivis reformasi 98 bawah tanah, karir PNS hanya sebagai dosen dan guru matematika, serta tidak berlatar belakang birokrasi.

Bambang D. H memilih kerja, dan tujuh setengah tahun kemudian hasilnya terlihat. Surabaya berubah wajah. Beberapa kali mendapat penghargaan layanan publik, meraih kembali Adipura, mempunyai banyak kampung dengan pengelolaan sampah luar biasa, banjir yang sudah bisa ditekan, dan tahun ini akan mempunyai salah satu sistem pengolahan sampah yang tercanggih di Dunia. Mantan Aktivis jalanan dengan tongkrongan tak meyakinkan itu kini menjadi salah satu pemimpin paling sukses di Indonesia. Dan mencatatkan dirinya dalam sejarah Surabaya sebagai salah satu Wali Kota Terhebatnya. 

Yang banyak orang Bandung juga tidak tahu adalah adanya peran besar Ridwan Kamil dalam membantu Walikota Surabaya membenahi kota Surabaya itu. Tapi kini hal itu secara gamblang diungkap di buku tersebut dalam satu bab tersendiri “Menuju Tata Kota Kelas Dunia” halaman 39-51

Pada pertengahan 2004, Ridwan Kamil bertemu Bambang di rumah dinas Wali Kota di Jalan Sedap Malam. Ridwan meminta Bambang D.H. yang saat itu ditemani Djamhadi mendengarkan konsep besarnya dalam menata sebuah kota. Paparan selama satu setengah jam itu langsung disambut anggukan setuju.

Kesepakatan terjadi. Ridwan Kamil meminta Bambang yang sudah berkomitmen menata kota itu untuk tak tanggung-tanggung menjadikan Surabaya hanya apik secara nasional. Tapi juga harus ada visi menjadikannya menawan di tingkat intennasional.

Konsep pertama penataan adalah menentukan komposisi pembangunan dan ruang terbuka hijau (RTH). Pembagiannya harus seimbang, yaitu 30 persen RTH dan 70 persen sisanya untuk bangunan dan jalan. “ini merupakan harga mati keseimbangan. Daya dukung sebuah kota baru akan maksimal dengan komposisi seperti ini,” tandas Ridwan Kamil.

 Yang kedua, membangun kota itu juga berarti membangun gaya hidup. Ridwan mengatakan memang tak mungkin bisa memaksa seseorang untuk naik bis ketimbang naik sepeda motor. Tapi, pemerintah bisa memaksakan sebuah regulasi yang membuat orang lebih suka memilih transportasi umum daripada kendaraan pribadi. “Seperti di Eropa, parkir mobil mahal, pajak kendaraan pribadi mahal, namun diimbangi dengan transportasi massal yang murah, nyaman, serta bisa menjangkau ke mana-mana,” tutur Ridwan.

Konsep ketiga, pembangunan kota harus seimbang antara pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Inilah yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan. “Membangun kawasan ekonomi juga harus memperhatikan aspek sosial dan ekologinya. Tak bisa asal membangun saja,” tuturnya.

Kata Ridwan, ciri sebuah kota yang baik bagi warganya adalah kota yang mampu membuat wanganya di segala rentang usia sukarela keluar numah untuk bermain. “Kalau warga sebuah kota lebih suka di rumah ketimbang di jalanan untuk menikmati suasana kota, jelas kota itu adalah kota sakit,” ucap Ridwan.

Hal keempat, kota yang baik harus memberikan visi yang jelas kepada warganya. Maksudnya, warga kota tahu ke arah mana pengembangan sebuah kota. “Seperti di Tiongkok, pembangunan sebuah kawasan selalu dipamerkan dulu di tempat publik. Biasanya dalam bentuk maket. Kemudian publik bebas menyuarakan aspirasinya soal pengembangan tersebut melalui semacam kotak saran yang ada,” tandasnya.

Dengan cara itu masyarakat di sana paham apa yang akan dibangun di kawasan ini, atau bagaimana pemerintah merancang bentuk kota sepuluh tahun ke depan. “Sehingga warga kota bisa menyiapkan langkah-langkahnya dalam menyambut pembangunan tersebut,” terangnya.

Terakhir, sebuah kota yang sehat membutuhkan political will yang baik dan pemimpinnya. “ini yang biasanya menjadi penyakit di Indonesia. Seorang kepala daerah banyak yang money-oriented untuk mengembalikan modal waktu mencalonkan diri. Tak heran, daerah yang dipimpinnya kerap hanya membangun secara sporadis, tanpa perencanaan yang matang,” tutunnya.

Dengan lima dasar konsep yang ditawarkan itulah Bambang D.H. mantap mengontrak Ridwan Kamil menjadi konsultan penencanaan tata kota. Tujuan kerja sama itu adalah menjadikan Surabaya dengan tata ruang kelas dunia.

Ridwan juga tak tanggung-tanggung. Dia mengundang EDAW, sebuah lembaga konsultan tata kota dan AS, sebagai mitranya untuk merencanakan tata ruang Surabaya. Bersama Edaw, selama sebulan Ridwan menyurvei Surabaya.

 Kesimpulan survei itu menujukkan bahwa Surabaya tak berbeda dan kota-kota lainnya di Indonesia, sebuah kota sakit dengan pola pembangunan sporadis dan tak terencana. Yang menj adi tolok ukur adalah ketiadaan public sphere yang layak saat itu. Saat Ridwan Kamil melakukan survei, Taman Bungkul masih merupakan taman tak terurus: gelap, jadi tempat pacanan, lapangan berbatu dengan pagar yang tak jelas gunanya. PKL pun datang merajalela tanpa ada yang mengurus.

Satu-satunya alasan mendatangi tempat itu adalah untuk ziarah ke makam Sunan Bungkul. Pendek kata, kawasan yang berlokasi di salah satu jalan utama di Surabaya itu menjadi kartu mati. Tak jelas public sphere apa bukan, namun warga kota jelas enggan datang ke sana untuk berpelesir bersama keluarga.

Menurut Ridwan Kamil dan tim, Surabaya benan-benar tak mempunyai tempat publik yang membuat warganya sukarela keluar rumah. “Sekali lagi, saya tekankan bila warganya enggan untuk keluar rumah untuk berpelesir, maka jelas ada yang salah dalam penataan ruang di kota tersebut,” ucap Ridwan.

Kelemahan lain Surabaya yang paling terlihat adalah pembangunannya tidak merata dengan disparitas antar daerah yang sangat senjang. Ridwan Kamil menunjukkan bahwa Surabaya Barat sangat bagus, sementara Surabaya Utara begitu kumuh dan tertinggal. Satu ciri lagi yang menunjukkan bahwa Surabaya kebingungan dengan visi pembangunannya adalah ia melupakan dan meninggalkan Kalimas.

Padahal, di kota-kota besar dunia, sungai merupakan landmark sebuah kota. Sungai Thames di London, Sungai Liffey di Dublin, Sungai Amstel di Amsterdam, atau Sungai Potomac di Washington D.C. “Sementara Surabaya yang punya Kalimas malah melupakannya. Menjadi tempat sampah besar,” paparnya.

Hanya satu hal positif yang dicatat oleh Ridwan Kamil saat itu. Apa itu? Political will pemimpinnya luar biasa besar. “Surabaya adalah kota pertama yang benar-benar berniat menggunakan jasa saya untuk melakukan penataaan kotanya. Dan inisiatif justru datang dari wali kotanya,” katanya.

Ridwan Kamil kemudian membantu PemKot Surabaya menyusun vision plan.

Setelah melakukan penelitian dan survei, keluarlah apa yang dinamakan “Surabaya Vision Plan”. Dalam presentasinya, Ridwan Kamil membagi Surabaya ke dalam sejumlah cluster. Menyesuaikan dengan potensi daerahnya, Ridwan Kamil menyarankan agar ada spesialisasi untuk masing—masing daerah.

Misalnya, kawasan Surabaya Utara, dimaksimalkan untuk kegiatan pelabuhan. Wilayah itu juga bisa memberi sumbangsih dengan menjadikan Surabaya sebagai salah satu port city terbesar dan hub untuk kawasan Indonesia Timur. Dengan demikian, di kawasan itu harus ada penataan yang bagus untuk wilayah peti kemas dan perindustrian yang berbasis perkapalan. Pemerintah juga harus menyediakan infrastruktur yang maksimal supaya bisa mendukung kegiatan shipping di kawasan tersebut.

Sementara Surabaya Pusat akan difokuskan menjadi kawasan CBD (central business district). Adapun kawasan Surabaya Selatan di-plot menjadi arena rekreasi, kawasan pendukung bisnis, menjadi landmark atau tetenger kota, dan menjadi pusat hub transportasi massal.

“Jangan sampai Surabaya menjadi Jakarta kedua dalam hal transportasi. Yakni, ketiadaan transportasi massal yang murah dan nyaman, serta mengalami kemacetan yang luar biasa,” terangnya. Di Jakarta, Ridwan Kamil menyatakan dan studi yang pernah dilakukannya diketahui bahwa kerugian potensial akibat terhalangnya mobilitas mencapai Rp 43 triliun setahun. Itu setara dengan empat kali lipat APBD Jatim 2011. Belum lagi social cost akibat stres di jalan.

Vision Plan Surabaya dibagi Ridwan Kamil menjadi dua

“Namun, inti utama Surabaya Vision Plan ada dua. Yang pertama adalah menjadikan Surabaya sebagal kota waterfront. Artinya, kota yang menjadikan sungai utamanya sebagai wajah muka, bukan wajah belakang.”

“Visi kedua adalah menciptakan lebih banyak ruang terbuka hijau yang berorientasi pada ruang publik dan penyelamatan ekologi sekaligus. “Di benak saya, Surabaya mempunyai banyak ruang publik tempat warganya meluangkan waktu untuk berpelesir bersama keluarga. Kalau itu bisa terjadi, maka Surabaya secara sosial dan psikologis sudah sehat,” paparnya.”

Implementasi itu rencana itu tidak mudah namun berhasil dilaksanakan Bambang DH

Maka, dalam lima tahun berikutnya Surabaya berbenah dan melakukan tugas raksasanya menjadikan Kalimas sebagai wajah muka. Yang pertama dilakukan adalah membangun Taman Ketabang, lengkap dengan patung Sura dan Baya (ikan hiu dan buaya lambang kota Surabaya) yang ada air mancurnya persis di belakang Monkasel. Tak bisa disangkal, konsep Taman mi mengacu pada patung Merlionnya Singapura. 

Yang kemudian benar-benar menjadikan Surabaya terkenal adalah dibangunnya banyak taman.Total, sekarang ada 18 taman kota yang mampu menjalankan fungsi sebagai ruang publik. Sebut saja Lapangan Sawunggaling di kawasan Joyoboyo yang bahkan mempunyai lapangan futsal gratis; taman lansia tempat para lansia untuk berjalan-jalan sekaligus refleksi, yang dilengkapi landasan bebatuan yang didesain khusus untuk refleksi kaki; dan yang paling utama adalah taman yang menjadi landmark Surabaya, yaitu Taman Bungkul.

Ketegasan Bambang D.H. juga terlihat soal penyediaan ruang terbuka hijau. Pada 12 Juni 2002, Bambang D.H. menyatakan bahwa 14 SPBU yang berada di lahan yang sebenarnya diperuntukkan sebagai ruang terbuka hijau harus tutup. Ini bukan pekerjaan ringan. Para pernilik SPBU itu kebanyakan mempunyai orang kuat sebagai backing. Selain itu, 14 SPBU tersebutjuga mengantongi izin resmi dan instansi terkait. Ini merupakan warisan dan pemerintahan terdahulu yang mengobral izin dan menabrak aturan mengenai peruntukan lahan di tempat itu untuk jalur hijau.

Bambang D.H. kemudian mengajukan raperda mengenai ruang terbuka hijau yang selesai diketok di dewan pada akhir 2002. Namun demikian, perda ini mesti menunggu waktu setahun untuk diterapkan. Sesuai dengan peraturan perundangan, harus ada waktu setahun untuk menyosialisasikan perda. Artinya, masa sosialisasi habis pada 31 Desember 2003, dan per 1 Januari 2004 para pemilik SPBU itu harus menutup usahanya. Untuk memberikan contoh, Bambang D.H. mdnutup sendiri SPBU milik koperasi karyawan pemkot di Jakgung Suprapto.

Dapat diduga, resistensi keras bermunculan dan pemilik dan para karyawan SPBU. Para karyawan sempat menggelar aksi unjuk rasa hingga ke DPRD Surabaya. Bukan itu saja, para pemilik SPBU juga mengajukan tuntutan pra peradilan ke PN Surabaya. Sidang yang digelar memutuskan untuk menolak tuntutan pencabutan perda itu. Akhirnya, setelah proses hukum hingga ke MA, dalam waktu tak lebih dan dua tahun ke-14 SPBU tersebut kini telah berganti menjadi jalur hijau.

Selain menertibkan SPBU, Pemkot juga menertibkan pemasangan reklame. Mereka tidak akan lagi memproses perizinan reklame di seluruh jalur hijau di jalan-jalan utama Surabaya, mulai Jalan A. Yani, Jalan Raya Darmo,Jalan Mayjen Sungkono, dan Jalan Kertajaya. Selain itu, supaya tidak semrawut, pemkot melarang pemasangan reklame dengan bentuk melebar. Tapi harus meninggi, sehingga tidak menghalangi dan merusak ruang terbuka hijau yang ada.

Penataan kota di sejumlah cluster Surabaya mulai terlihat bentuknya. Pengembangan kawasan Surabaya Timur juga sedang dan akan dilaksanakan. Yang pertama adalah wisata ekologis hutan mangrove di Wonorejo. Begitu pula, di kawasan Surabaya Utara pun juga sudah dilakukan sejumlah pembenahan.

Untuk pantai timur Surabaya, jauh-jauh hari Bambang D.H. menetapkan sekitar 1.500 hektar kawasan timur Surabaya sebagai konservasi hutan lindung mangrove. Tujuannya untuk mengembalikan daerah Timur sebagai penyangga kawasan konservasi pantai.

Dasar pemikiran perubahan kewenangan itu adalah yang paling mengetahui mengenai keadaan dan kebutuhan suatu daerah adalah daerah itu sendiri. Artinya, yang paling tahu mengenai apa yang baik bagi suatu daerah ya daerah itu sendiri. Dengan begitu, pengelolaan Pamurbaya (pantai timur Surabaya) merupakan kewenangan Surabaya. Seperti dalam penutupan SPBU, sempat muncul resistensi dalam pembatalan izin lokasi. “Tapi setelah dijelaskan mengenai vitalnya wilayah pantai timur sebagai kawasan konservasi, mereka (para pengembang) bisa paham,” terangnya.

“Begitu saya tetapkan pada 2005, saya membatalkan banyak izin lokasi,” terangnya. Izin lokasi merujuk pada izin yang telah dikantongi pengembang untuk menjadikan sebuah kawasan sebagai perumahan.

Dijelaskan Bambang D.H., rupanya banyak pengembang yang sudah memblok-blok kawasan hutan lindung untuk dijadikan perumahan. Para pengembang itu tak bisa disalahkan begitu saja karena sebelumya, wewenang mengeluarkan izin lokasi memang ada di PemprovJatim. “Tapi kemudian diubah oleh Kemendagri, yang berhak mengeluarkan izin lokasi adalah Pemkot/Pemkab,” jelasnya.

Daripada membuat perumahan begitu saja, namun beberapa tahun kemudian diprotes para penghuninya. Atau malah tak laku karena air laut menggenang dan air sumurnya menjadi asin, maka para pengembang memilih membatalkan rencana mereka. “Belum lagi ancaman banjir rob dan kerusakan ekologis yang tak bisa dipulihkan,” ucap Bambang.

Sekarang ini, Surabaya mempunyai ruang terbuka hijau lebih dan 30 persen. Surabaya juga menjadi kota dengan visi dan panduan pembangunan yang jelas. Meski belum mencapai standar kota kelas dunia yang lengkap dengan transportasi massal nan murah, nyaman, dan menjangkau ke mana-mana, Surabaya kini berada di track yang tepat untuk menjadi kota dengan penataan ruang berkelas dunia.

Ridwan Kamil angkat topi atas kesuksesan Bambang DH dalam merealisasikan desain yang dirancangnya.

Ridwan Kamil terakhir berkunjung ke Surabaya pada 2011. Dan dia benar-benar terharu melihat Taman Bungkul. “Seperti itulah ruang publik yang ada dalam benak saya,” katanya. Warga kota berduyun-duyun datang, taman yang ramah dan selalu ramai 24 jam, adalah pemandangan yang tak bisa dilihat di tempat lain di Indonesia. “Memang ada Monas di Jakarta, tapi bukan pure taman dan kurang ramah,” tambahnya.

Meski dan awal dia memang yakin Bambang D.H. akan mengaplikasikan konsep penataan ruangnya, tapi tak urung percepatan pembangunan yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya mengejutkannya. Dalam waktu tak terlalu lama, Pemkot berhasil menggusur bangunan liar di sejumlah titik bantaran sungai, menertibkan pedagang Pasar Keputran yang meluber, sekaligus melakukan penertiban terhadap biro reklame dan pemilik SPBU. 

(Dikutip dari buku Bambang D.H Mengubah Surabaya | Ridho Syaiful Ahadi | Indonesia Berdikari | 2013).

Posting Komentar

0 Komentar