Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi
mengimbau agar seluruh bupati dan wali kota di Jabar menghapus tunggakan pokok
dan denda Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dari tahun
2024 ke belakang.
Namun imbauan ini berlaku hanya
untuk wajib pajak perorangan, bukan badan usaha.
Terkait penghapusan tunggakan pokok dan denda PBB, Anggota Komisi II DPRD Kota
Bandung, Siti Marfuah, menilai hal ini tentunya dapat berdampak positif bagi
masyarakat maupun pemkot Bandung.
![]() |
Bapenda Kota Bandung |
“Bagi masyarakat, program ini dapat membantu wajib pajak yang kesulitan seperti pewaris dari pemilik bangunan yang sudah wafat dan tidak memiliki kemampuan ekonomi atau kepemilikan properti dengan nilai sejarah yang penting,” ujar Siti, Rabu (20/8).
Dari sisi administrasi, kata
Siti, menghapus tunggakan lama dapat mempermudah data pajak, tanpa harus
mengejar pelunasan yang sulit. Tunggakan lama, terutama yang sangat rendah
kepatuhannya, menggerus kemampuan sumber daya untuk ditagih.
“Selain itu, dengan adanya
program ini, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membayar
pajak tepat waktu,” tuturnya.
Sementara bagi Pemkot Bandung,
ungkap Siti, dengan penghapusan denda dan pokok ini, Badan Pendapatan Daerah
(Bapenda) bisa mengalokasikan lebih fokus pada pembayaran pajak aktif dan
pembayaran saat ini yang signifikan.
Selain itu, program ini juga
dapat menghapus objek pajak yang ‘mati’ di mana banyak objek yang sudah lama
tidak membayar PBB karena menunggak bertahun-tahun.
“Dengan dihapusnya tunggakan dan
denda masa lalu, wajib pajak jadi mau membayar pajak tahun berjalan, karena
tidak lagi terbebani masa lalu, sehingga akan menghidupkan kembali subjek wajib
pajak yang sebelumnya dianggap dead asset oleh pemerintah daerah,” terangnya.
Dampaknya, kata Siti, pemerintah
daerah berpotensi menaikkan pendapatan riil pada 2025 yang mana hal tersebut
tentu dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Dikritik
Di sisi lain, tutur Siti, program
ini berpotensi dinilai sebagai bentuk ketidakadilan bagi masyarakat yang selalu
membayar PBB tepat waktu, dan juga bisa menimbulkan moral hazard jika amnesti
sering diberikan.
“Masyarakat mungkin akan menunda
pembayaran dengan harapan diskon serupa di masa depan. Hal-hal ini justru dapat
menurunkan PAD,” katanya.
Maka dari itu, Siti berpendapat
pemerintah daerah melalui kebijakan ini dapat memberi apresiasi bagi wajib
pajak yang taat, seperti turut serta dalam program insentif. Fokus pada
apresiasi ini, misalnya berupa hadiah, umrah, penghargaan, tabungan emas, dan
sebagainya.
Kemudian tetap menegakkan
pembayaran PBB 2025, pasca program penghapusan masa lalu, agar kepatuhan
masyarakat tetap bisa terjaga konsistensinya. Lalu, dengan cara ini, pemerintah
dapat memisahkan antara masa lalu yang sudah dibereskan dengan masa depan yang
bisa lebih baik.
“Memberikan apresiasi bagi wajib
pajak taat, agar mereka merasa dihargai serta tetap taat untuk masa yang akan
datang, sekaligus menghindari kesan ketidakadilan terhadap kepatuhan dan PAD,”
jelasnya.
0 Komentar