Sepatu dan Penumbuhan Karakter Anak



Satu kali, seorang teman bercerita bagaimana anaknya yang kelas empat SD pulang Sekolah dengan wajah cemberut. Selidik punya selidik, ternyata ia dihukum guru kelasnya dengan membersihkan kamar mandi sekolah. Bukan masalah hukuman dan bersih-bersih kamar mandi yang menjadi masalah bagi teman saya ini, tetapi sebab dijatuhkannya hukuman yang membuat dirinya galau. Menurut cerita putrinya yang suka Matematika itu, Ia dihukum karena meletakan sepatu tidak rapi. Padahal menurut pengakuan putrinya, ia telah meletakan sepatu dengan rapi berjejer seperti sepatu-sepatu yang lain. Sampai di sini, masalah belum dianggap terlalu serius, karena bisa saja putrinya lupa atau kurang teliti saat meletakan sepatu. Nah, yang jadi masalah serius justru setelah putrinya bilang bahwa sepatu itu bisa jadi kesenggol atau ketendang orang lain, baik teman-temannya atau bahkan guru-guru. Kenapa bisa begitu, karena sepatu-sepatu itu diletakan begitu saja di bawah teras depan kelas tanpa wadah khusus atau tempat sepatu yang biasanya ada.
Setelah mengetahui duduk masalahnya, bahwa tidak ada rak sepatu di kelas itu, Teman saya ini memastikan esok harinya melihat kekelas putrinya,  dan memang benar kelas itu tidak ada tempat sepatunya. Itulah yang membuat kegalauan dirinya bertambah-tambah. “Bagaimana mungkin ada aturan buka sepatu masuk kekelas dan murid-murid diminta merapikan sepatu tetapi tidak ada tempat sepatunya. Ajaib sekali.. ”Begitu selorohnya. Ia berniat menyampaikan masalah ini ke kepala sekolah.  Namun sebelum keesokan harinya ia menghadap ke kepala sekolah, teman saya ini telah membawa rak sepatu plastik yang akan diserahkan untuk kelas putrinya itu. Hebat.
Bukan cuma itu cerita tentang sepatu seperti dialami Teman saya sebenarnya. Masalah sepatu pernah pula menjadi obrolan santai saya dengan Teman saya yang lain, seorang praktisi pendidikan pada satu kunjungan kesekolah. Pendapatnya ini menurut saya malah agak ‘ekstrim’ karena ia berseberangan dengan kebanyakan aturan yang sudah dan sedang diterapkan sekolah-sekolah,  sekolah Islam khususnya. Yakni, membuka sepatu ketika masuk ke kelas. Teman saya yang ini, tidak sepakat dengan aturan itu, bahwa murid harus membuka sepatu saat masuk kelas.
“Apa tujuan aturan itu..? apakah agar kelas terjaga kebersihannya atau apa..? Apakah ada manfaatnya untuk kehidupannya kedepan secara pribadi atau bermasyarakat..?”  saya hanya diam sambil senyum kaku tak tahu harus jawab apa. Karena saya tahu ia sedang mempertanyakan kebijakan umum yang juga saya terapkan di sekolah di mana saya mengajar. Pertanyaan itu masih menggantung saat kami berjalan menuju mini market untuk membeli minuman. Dan lagi-lagi ia dapati anak-anak membuka sepatu saat masuk ke mini market. Dan ia melanjutkan ungkapan ketidaksetujuannya melihat fenomena itu.
“Bukankah malah akan bermasalah secara penumbuhan karakter anak jika begini kondisinya. Kitakan mengajarkan mereka supaya siap menghadapi kehidupan sesungguhnya di luar sana, agar mereka bisa survive dan berprestasi.  Mereka dipersiapkan untuk menghadapi kondisi sesungguhnya dari beragam kondisi, model dan aturan. Kalau di sekolah diajarkan buka sepatu saat masuk masjid, maka di manapun di luar lingkungan sekolah kebiasaan itu harus terus dilakukan. Tidak boleh tidak. Tetapi kalau kita ajarkan buka sepatu saat masuk kelas, apalagi masuk mini market, apakah saat ia kuliah nanti akan buka sepatu saat masuk ruang kuliah atau buka sepatu juga saat masuk mini market di luar lingkungan sekolah..??? ”Suaranya mulai meninggi dengan tekanan kuat di sana sini.
Saya masih terdiam sambil pasang ekspresi khusuk mendengarkan. Tapi dalam hati saya membenarkan juga apa yang diungkapkannya. Lalu saya katakan bahwa, aturan buka sepatu kebanyakan bertujuan agar ruang kelas terjaga kebersihannya, dan agar murid-murid nyaman saat belajar. Tapi teman saya menambahkan, jika memang tujuannya untuk kebersihan dan kenyamanan kelas sebagai tempat belajar ,maka libatkan murid-murid, bantu mereka buat satu aturan untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan kelas tanpa harus buka sepatu. Justru itu bisa sebagai model langsung bagaimana mereka berlatih menjaga kebersihan. Masih dimaklumi jika tanah di lingkungan sekolah becek dan kotor, apalagi saat hujan, tetapi sekolah yang sudah beraspal atau tidak ada jalan becek kenapa harus buka sepatu?
Saya pikir sebagai bahan pertimbangan kedepan, mungkin ada benarnya juga ungkapan teman saya itu didalami untuk mendapat formula yang tepat bagi tumbuh kembang murid-murid kedepannya.  Tapi Saya sendiri belum bisa mengambil kesimpulan dari obrolan itu. Untuk sementara saya masih menganut mazhab kondisional. Artinya, jika belum memungkinkan memakai sepatu, maka buka sepatu sebagai solusinya karena ada kepentingan yang lebih prioritas, yakni kebersihan dan kenyamanan ruang kelas. Namun jika –pun murid-murid harus buka sepatu, seharusnya disiapkan juga rak sepatu yang proporsional, agar kerapihan dan ketertiban bisa diterapkan.
Terlepas dari membuka atau memakai sepatu kedalam ruangan ,kerapihan dan ketertiban lingkungan menjadi hal mendasar.  Bukan hanya di sekolah tetapi tempat-tempat lain harus memperhatikan masalah itu.Terlebih Masjid sebagai tempat ibadah dan markas dawah sebagai pusat kegiatan dawah, harus ekstra memperhatikan kerapihan dan ketertibansepatu dan sandal yang berserakan… apalagi sudah disediakan rak sepatu untuk kebutuhan itu. Sayang dan mubazir jika tidak digunakan.

(inspirasi: saat berkunjung ke markas dawah DPD PKS Kota Bandung)

Dwi Fahrial
Dago, 20 Mei 2016







Posting Komentar

0 Komentar