No Compromise

google


Salah satu hal yang melekat pada kehidupan pengasuhan adalah kondisi saling mempengaruhi antara anak dan orangtua.Banyak sekali kekesalan yang mengemuka yang bersumber dari “ulah” anak-anak kita. Konteks munculnya rasa kesal itu pun beragam. Artinya, ada rasa kesal yang secara murni diakibatkan dari kondisi psikologis diri kita sendiri, dan ada pula yang murni diakibatkan oleh perilaku anak. Berikut saya kelompokkan kedalam lima konteks. 
1.      Anak melakukan ketaksengajaan yang sangat wajar pada saat kondisi kita tengah tak nyaman, tidak kondusif atau mungkin tengah memendam kemarahan. Contoh : menumpahkan susu, menjatuhkan mangkuk hingga pecah, mencoret dinding, dan lain-lain.
2.      Anak melakukan satu kesalahan yang berasal dari tindakan coba-coba dengan motif ingin tahu atau penasaran. Contoh : memutar-mutar lisptick sampai lipstick-nya patah dan tak berbentuk, memutar-mutar kode brangkas, dan lain-lain.
3.      Anak melakukan “ulah” secara sengaja sebagai bentuk protes atau mencari perhatian. Contoh : Buang air di celana secara berturut-turut dalam waktu beberapa hari atau bahkan beberapa pekan, menggunting baju/celana yang sedang mereka pakai, memainkan atau menghamburkan menu makanan yang tengah disantapnya, dan lain-lain.
4.      Iseng terhadap salah satu teman, terhadap salah satu anggota keluarga atau bahkan pada kita, -orangtua-. Motifnya tidak lain karena rasa greget atau gemas atau menguji. 

Pada dasarnya, apapun “ulah” yang mengemuka adalah wajar. Terlepas apakah tidak sengaja maupun disengaja. Mengapa demikian, karena tentu ada satu motif dibalik apa yang mereka lakukan. Kecuali pada beberapa anak tertentu yang sudah banyak diintervensi oleh orang dewasa, dimana mereka secara tidak langsung memiliki dorongan untuk berbuat salah bahkan berbuat jahat. 

Namun sekali lagi, anak belum paham terhadap norma. Persoalannya adalah, seringkali kita TIDAK PUNYA RUANG KOMPROMI. Sehingga pada akhirnya, penghakiman negatif-lah yang kita munculkan. Bahkan celakanya, kita menyimpulkan bahwa anak adalah sosok yang paling TIDAK BISA DIAJAK KOMROMI. Padahal, jika kita bersedia bertafakkur, siapakah sebetulnya yang paling tidak bisa diajak kompromi. Mereka atau kita? 

Lalu apa yang menyebabkan kita tak bersedia memberi ruang pemaafan dan pemakluman pada mereka? Ketidakmampuan mengendalikan amarah. Itulah penyebabnya. Terlepas apakah amarah itu hanya dalam bentuk gestur, dalam bait-bait kalimat sindiran, dalam bentuk hukuman yang tak proforsional, atau dalam bentuk penyiksaan fisik.

Selanjutnya, hal yang melekat pada kehidupan manusia adalah adanya kondisi bersebarangan dengan nilai-nilai agama atau norma yang berlaku. Hal ini terjadi pula pada kehidupan anak, dimana kondisi personal-sosial mereka berada pada kondisi;
1.      Chaos
2.      Anarki
3.      Destruktif
4.      Tidak nyaman
Namun sekian kondisi tersebut, tentu tak berdiri sendiri. Mereka melakukan sekian tindakan berdasarkan hasil penyerapan mereka terhadap lingkungan, yang selanjutnya mereka anggap sah untuk dilakukan atau diafirmasi. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah SWT menyampaikan tentang pilihan hidup. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Ar-ra’du : 11)
Demikian Allah memberikan kita satu bahan renungan untuk dapat mengambil satu pilihan tepat. Dalam hal ini -sebagai orangtua-, apakah kita mampu mengendalikan sikap negatif diri kita sendiri atau tidak. Satu renungan berikutnya, apakah kita mampu menjaga sikap anak-anak kita sehingga mereka terbebas dari penyimpangan.

Selanjutnya, kadang kita lupa bahwa pengendali kita adalah diri kita sendiri. Kita dikawal oleh dua sisi nafsu yang bersebarangan. Maka wajar bila pada suatu saat kita memilih salah satu sikap diantara protagonis dan antagonis. Atau terjebak pada apatisme saat kita tengah berteriak lantang tentang keyakinan. Atau tiba-tiba kita terjerembab dalam kekufuran saat kita mendawamkan kata mulia bernama “iman”.Mendadak malas dan enyah dari sekian keharusan, itulah manusia. Mendadak tak suka setelah sebelumnya membela-bela, itupun manusia. Mendadak beringas hanya karena alasan sederhana, itu juga terjadi pada kita –manusia-.

Menyeret manusia sejauh 30 kilometer dalam kecepatan dahsyat, lalu berdalih takut dibinasakan warga. Ooh.... Sungguh logika yang terlalu dangkal. Membunuh mantan pacar atas dorongan kecewa yang berjejal, padahal hanya bermula dari persoalan cincin. Ooh sungguh tragisme yang mengiris batin. Manusia tiba-tiba membenda antara satu sama lain akibat kecewa yang tak bermuara. Manusia tiba-tiba membinatang akibat gusar yang tak kunjung pudar. Manusia menjadi buih akibat cara berpikir yang mendidih.

Qodarullah. Tak ada yang mengemuka selain atas takdir-Nya. Maka kematian hadir tanpa bisa dipungkir. Terlepas, apakah maut itu akibat tebasan tangan manusia atau akibat kecelakaan dahsyat. Terlepas, apakah duka yang ada menyapa siapa. Namun AKHLAK menjelma tontonan pada prosesi dimana nyawa itu meregang. Semua yang menyaksikan dan mendengar kabar, tentu cerdas membuat simpulan. Ada apa sebetulnya dengan akhlak mereka yang berani melampaui kuasa Allah –menghabisi sesama makhluk-.
Keberingasan bisa hadir kapan saja dan menimpa siapa saja. Bukan satu atau dua bukti dimana dia yang terkesan beradab, terpandang, bahkan ditokohkan, namun tiba-tiba MATI RASA dan mendadak beringas. Lalu berakhir dengan menyia-nyiakan arti sebuah nyawa. Astaghfirullah.

Mari pohonkan taubat sedalam-dalamnya pada Allah sandaran kita. Mari meminta jaminan keselamatan bagi kita, bagi pasangan kita, bagi anak-anak kita, bagi murid-murid, bagi tetangga kita, dari ketidakmampuan mengendalikan amarah. Semoga Allah SWT luputkan kita dari kemungkinan-kemungkinan bipolar. Sehingga selamanya kita tersadar.

Tak ada ruang negosiasi bagi kita untuk mengurangi takaran tanggung jawab dalam pengasuhan. Tak bisa kita menunda upaya pengkondisian terbaik untuk akhlak terbaik anak-anak kita. Karena mental terbaik tertanam dan tumbuh sejak mereka menyadari tentang mental itu sendiri. Alloohu ‘alam bish showaab. Semoga bermanfaat. (Miarti Yoga)

Posting Komentar

0 Komentar