Salah
satu hal yang melekat pada kehidupan pengasuhan adalah kondisi saling
mempengaruhi antara anak dan orangtua.Banyak sekali kekesalan yang mengemuka
yang bersumber dari “ulah” anak-anak kita. Konteks munculnya rasa kesal itu pun
beragam. Artinya, ada rasa kesal yang secara murni diakibatkan dari kondisi
psikologis diri kita sendiri, dan ada pula yang murni diakibatkan oleh perilaku
anak. Berikut saya kelompokkan kedalam lima konteks.
1.
Anak
melakukan ketaksengajaan yang sangat wajar pada saat kondisi kita tengah tak
nyaman, tidak kondusif atau mungkin tengah memendam kemarahan. Contoh :
menumpahkan susu, menjatuhkan mangkuk hingga pecah, mencoret dinding, dan
lain-lain.
2.
Anak
melakukan satu kesalahan yang berasal dari tindakan coba-coba dengan motif
ingin tahu atau penasaran. Contoh : memutar-mutar lisptick sampai lipstick-nya
patah dan tak berbentuk, memutar-mutar kode brangkas, dan lain-lain.
3.
Anak
melakukan “ulah” secara sengaja sebagai bentuk protes atau mencari perhatian.
Contoh : Buang air di celana secara berturut-turut dalam waktu beberapa hari
atau bahkan beberapa pekan, menggunting baju/celana yang sedang mereka pakai,
memainkan atau menghamburkan menu makanan yang tengah disantapnya, dan
lain-lain.
4.
Iseng
terhadap salah satu teman, terhadap salah satu anggota keluarga atau bahkan
pada kita, -orangtua-. Motifnya tidak lain karena rasa greget atau gemas atau
menguji.
Pada
dasarnya, apapun “ulah” yang mengemuka adalah wajar. Terlepas apakah tidak
sengaja maupun disengaja. Mengapa demikian, karena tentu ada satu motif dibalik
apa yang mereka lakukan. Kecuali pada beberapa anak tertentu yang sudah banyak
diintervensi oleh orang dewasa, dimana mereka secara tidak langsung memiliki
dorongan untuk berbuat salah bahkan berbuat jahat.
Namun
sekali lagi, anak belum paham terhadap norma. Persoalannya adalah, seringkali
kita TIDAK PUNYA RUANG KOMPROMI. Sehingga pada akhirnya, penghakiman
negatif-lah yang kita munculkan. Bahkan celakanya, kita menyimpulkan bahwa anak
adalah sosok yang paling TIDAK BISA DIAJAK KOMROMI. Padahal, jika kita bersedia
bertafakkur, siapakah sebetulnya yang paling tidak bisa diajak kompromi. Mereka
atau kita?
Lalu
apa yang menyebabkan kita tak bersedia memberi ruang pemaafan dan pemakluman
pada mereka? Ketidakmampuan mengendalikan amarah. Itulah penyebabnya. Terlepas
apakah amarah itu hanya dalam bentuk gestur, dalam bait-bait kalimat sindiran,
dalam bentuk hukuman yang tak proforsional, atau dalam bentuk penyiksaan fisik.
Selanjutnya,
hal yang melekat pada kehidupan manusia adalah adanya kondisi bersebarangan
dengan nilai-nilai agama atau norma yang berlaku. Hal ini terjadi pula pada
kehidupan anak, dimana kondisi personal-sosial mereka berada pada kondisi;
1.
Chaos
2.
Anarki
3.
Destruktif
4.
Tidak
nyaman
Namun
sekian kondisi tersebut, tentu tak berdiri sendiri. Mereka melakukan sekian
tindakan berdasarkan hasil penyerapan mereka terhadap lingkungan, yang
selanjutnya mereka anggap sah untuk dilakukan atau diafirmasi. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah SWT
menyampaikan tentang pilihan hidup. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka
tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia.” (Ar-ra’du : 11)
Demikian
Allah memberikan kita satu bahan renungan untuk dapat mengambil satu pilihan
tepat. Dalam hal ini -sebagai orangtua-, apakah kita mampu mengendalikan sikap
negatif diri kita sendiri atau tidak. Satu renungan berikutnya, apakah kita
mampu menjaga sikap anak-anak kita sehingga mereka terbebas dari penyimpangan.
Selanjutnya,
kadang kita lupa bahwa pengendali kita adalah diri kita sendiri. Kita dikawal
oleh dua sisi nafsu yang bersebarangan. Maka wajar bila pada suatu saat kita
memilih salah satu sikap diantara protagonis dan antagonis. Atau terjebak pada
apatisme saat kita tengah berteriak lantang tentang keyakinan. Atau tiba-tiba
kita terjerembab dalam kekufuran saat kita mendawamkan kata mulia bernama
“iman”.Mendadak malas dan enyah dari sekian keharusan, itulah manusia. Mendadak
tak suka setelah sebelumnya membela-bela, itupun manusia. Mendadak beringas
hanya karena alasan sederhana, itu juga terjadi pada kita –manusia-.
Menyeret
manusia sejauh 30 kilometer dalam kecepatan dahsyat, lalu berdalih takut
dibinasakan warga. Ooh.... Sungguh logika yang terlalu dangkal. Membunuh mantan
pacar atas dorongan kecewa yang berjejal, padahal hanya bermula dari persoalan
cincin. Ooh sungguh tragisme yang mengiris batin. Manusia tiba-tiba membenda antara satu sama lain
akibat kecewa yang tak bermuara. Manusia tiba-tiba membinatang akibat gusar
yang tak kunjung pudar. Manusia menjadi buih akibat cara berpikir yang
mendidih.
Qodarullah. Tak ada yang mengemuka selain atas takdir-Nya. Maka
kematian hadir tanpa bisa dipungkir. Terlepas, apakah maut itu akibat tebasan
tangan manusia atau akibat kecelakaan dahsyat. Terlepas, apakah duka yang ada
menyapa siapa. Namun AKHLAK menjelma tontonan pada prosesi dimana nyawa itu
meregang. Semua yang menyaksikan dan mendengar kabar, tentu cerdas membuat
simpulan. Ada apa sebetulnya dengan akhlak mereka yang berani melampaui kuasa
Allah –menghabisi sesama makhluk-.
Keberingasan
bisa hadir kapan saja dan menimpa siapa saja. Bukan satu atau dua bukti dimana
dia yang terkesan beradab, terpandang, bahkan ditokohkan, namun tiba-tiba MATI
RASA dan mendadak beringas. Lalu berakhir dengan menyia-nyiakan arti sebuah
nyawa. Astaghfirullah.
Mari
pohonkan taubat sedalam-dalamnya pada Allah sandaran kita. Mari meminta jaminan
keselamatan bagi kita, bagi pasangan kita, bagi anak-anak kita, bagi
murid-murid, bagi tetangga kita, dari ketidakmampuan mengendalikan amarah.
Semoga Allah SWT luputkan kita dari kemungkinan-kemungkinan bipolar. Sehingga
selamanya kita tersadar.
Tak
ada ruang negosiasi bagi kita untuk mengurangi takaran tanggung jawab dalam
pengasuhan. Tak bisa kita menunda upaya pengkondisian terbaik untuk akhlak
terbaik anak-anak kita. Karena mental terbaik tertanam dan tumbuh sejak mereka
menyadari tentang mental itu sendiri. Alloohu ‘alam bish showaab. Semoga
bermanfaat. (Miarti Yoga)
0 Komentar