"If you tell a lie long and
loud enough, people will eventually start to believe it" (anonym)
“Meskipun itu kebohongan, jika
kau mengatakannya cukup keras, orang-orang akan mulai mempercayai itu” (anonym)
![]() |
sumber gambar: |
Apa itu normal? Sesuatu yang
tidak normal membuat kita terkejut. Apakah berarti kenormalan adalah sesuatu
yang tidak membuat kita terkejut? Bila tiba-tiba suatu malam ada kembang api,
bagaimana reaksi pertama kita pertama kali? Kita akan terkejut. Muncul kembang
api berikutnya, kita masih terkejut, tapi mulai berkuranglah keterkejutan kita.
Awalnya kita anggap kembang api itu tidak normal. Tapi setelah selesai ledakan
pertama, itu mulai terasa normal hingga puluhan ledakan terjadi, kembang api
jadi terasa normal.
Psikolog Dale Miller, sebagaimana
dikutip dalam buku Thinking , Fast And Slow karya Daniel Kahneman (Peraih
Hadiah Nobel Bidang Ekonomi), menulis
satu esai untuk mencoba menjelaskan bagaimana peristiwa jadi dipandang sebagai
normal dan tak normal. Peristiwa itu tampak normal karena melibatkan peristiwa
pertama, mengambil peristiwa pertama dan ingatan yang terbentuk, dan
ditafsirkan sesuai peristiwa pertama.
Bila ada yang betanya, “ Berapa
hewan dari tiap-tiap jenis yang dibawa Musa dalam kapalnya?” Kita akan berusaha
mendeteksi apa yang salah dari pertanyaan itu. Ya betul, Rasul yang membuat
perahu adalah Nuh AS, bukan Musa AS. Namun kita tidak terlalu terkejut bukan?
Mengapa? Karena Musa AS dan Nuh AS adalah sama-sama Rasul. Namun apa yang
terjadi bila pertanyaannya diganti, “Berapa hewan dari tiap-tiap jenis yang
dibawa Gubernur Ahmad Heryawan dalam kapalnya?” Akan terasa lebih mengagetkan
bukan? Karena ingatan awal kita adalah Gubernur Ahmad Heryawan bukan nabi. Maka
pertanyaan “Ahamd Heryawan” terasa lebih tidak normal dibandingkan pertanyaan “Musa
AS”.
Dari beberapa ulasan tersebut,
kenormalan dan ketidaknormalan menjadi sesuatu yang perlu kita renungi lebih
dalam. Allah merancang otak kita sehingga mampu mendeteksi kenormalan dan
ketidaknormalan. Banyak manfaat dari kemampuan kita itu namun ada pula dampak
yang perlu kita waspadai.
Sisi positif yang perlu kita
syukuri bahwa hal tersebut membuat kita mampu beradaptasi. Bayangkan bila kita
tidak punya kemampuan “menormalkan” sesuatu. Setiap tahun baru kita akan lelah
karena terus tarkaget-kaget oleh kembang api padahal itu sudah ledakan yang ke
100 di malam tahun baru. Bila kita tidak mampu beradaptasi, kita akan selalu
kaget dengan kondisi yang kita hadapi. Di jalan raya bila ada kendaraan
menyalip, kita akan terus kaget dan panik. Tapi karena otak kita mampu belajar,
kita akan lebih waspada, tenang, dan antisipatif. Ketika ada pengendara
ugal-ugalan, kita akan tetap tenang, karena sudah pengalaman menghadapi kejutan
dari budaya berkendara di kota.
Sisi negatif yang perlu kita
waspadai bahwa hal tersebut membuat kita akan mampu mentolerir apapun,
sekalipun itu adalah keburukan. Suatu hari kita dengar ada kabar kriminalitas
anak SD, kita kaget. Lalu muncul berita kedua, kenakalan siswa SD, masih kaget
juga. Tapi bayangkan bila berita itu berkali-kali terjadi muncul di televisi,
kita akan semakin tidak kaget, dan menganggap bahwa anak SD yang kriminal itu
normal. Yang lebih buruk bahkan kita menganggap siswa SD yang baik itu jadi
terasa tidak normal. Dan kita kaget melihat ada anak SD yang baik.
Mari kita renungkan
ketidaknormalan yang sudah kita anggap normal. Dalam kasus penerimaan CPNS (Calon
Pegawai Negeri Sipil) misalnya. Seakan-akan terbentuk di benak masyarakat bahwa
CPNS kalau tidak menyuap itu maka tidak akan lulus. Berbuat curang dalam proses
penerimaan CPNS dianggap normal karena dulu saking seringnya itu terjadi.
Bahkan kini tidak sedikit orang tertipu oleh oknum yang mengaku-ngaku sebagai
panitia CPNS dan meminta sejumlah uang. Kini pemerintah telah bekerja keras
membersihkan proses tersebut bersih. Dan saat kini sudah bersih, kita merasa
kondisi ini “tidak normal” padahal ini yang seharusnya normal.
Sama pula dengan budaya korupsi
di oknum pejabat. Seperti terjadi anggapan masyarakat bahwa pejabat kalau mau
kaya harus korupsi. Hal yang tidak normal, karena sering terjadi, seakan
dianggap normal dan lazim. Ini dampak yang perlu kita waspadai. Suatu dosa dan
kejahatan, bila sering terjadi, lama-lama akan dianggap normal. Budaya pacaran
di kalangan pelajar adalah perbuatan yang tidak baik dan tak sesuai norma
timur. Tapi karena saking seringnya terjadi, terlihat, dan tertampilkan dalam
berbagai media, pacaran menjadi normal. Orang yang tidak pacaran dianggap tidak
normal, bahkan menjadi objek “bully”. Naudzu Billaah.
Kesimpulannya, otak kita memiliki
kemampuan adaptasi. Bila melihat hal yang buruk, kita akan terkejut pada
awalnya. Namun bila keburukan itu kerap terjadi, otak kita akan menyesuaikan, dan
tidak kaget lagi. Otak kita belajar dan menganggap keburukan tersebut sebagai
sesuatu yang “normal”. Tugas kita untuk tanpa lelah mengatakan yang salah itu
memang salah. Tugas kita untuk terus mengatakan yang tidak normal adalah memang
tidak normal. Sehingga masyarakat kita terlindungi dari perilaku-perilaku
menyimpang.
There shall be no compulsion in
[acceptance of] the religion. The right course has become clear from the wrong.
So whoever disbelieves in Taghut and believes in Allah has grasped the most
trustworthy handhold with no break in it. And Allah is Hearing and Knowing.
(Al BAqarah [2]: 256)
Tidak ada paksaan dalam
(menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar
dengan jalan yang sesat Barang siapa ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang (teguh) kepada buhul tali yang
sangat kuat yang tidak akan putus Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Al
BAqarah [2]: 256)
Oleh: Fanfiru.
0 Komentar