Ustadz Iman, Tumbuh dalam “Madrasah” Masyarakat



Sejak bayi, Iman Lestariyono, kini biasa dipanggil Ustadz Iman, telah tinggal di Sekeloa walaupun dia bukanlah orang Sunda. Bapaknya dari Yogyakarta dan ibunya dari Kediri, Jawa Timur. Warisan darah Jawa jelas terlihat pada huruf akhir nama belakangnya.

Menurut Iman, kondisi ekonomi Sekeloa termasuk buruk. Ini terlihat dari antrian yang panjang pada saat pembagian sembako murah. Ironisnya, beberapa kompleks perumahan mewah di Bandung ternyata terletak di daerah ini. Kondisi inilah yang mendorong suami dari Yulyanti Anggraeny ini aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan di kampungnya sejak kecil.

Sejak duduk di SMPN 2, Iman yang tidak pernah jauh dari masjid, telah aktif memberikan pembinaan diniyah kepada anak-anak di kampungnya. Saat duduk di bangku SMAN 2, Iman mulai menginisiasi sebuah program pemberian santunan bagi dhuafa. Saat itu yang menjadi prioritasnya adalah warga yang telah jompo.

Aktifitas sosial keagamaannya berlanjut di bangku kuliah. Alumni Teknik Geofisika ITB angkatan 1994 ini, aktif di Gamais ITB dan lembaga dakwah jurusannya. Kegiatan sosialnya di Sekeloa pun semakin bertambah. Iman yang mengajar privat, sering menyalurkan donasi dari salah satu orangtua siswanya. Donasi yang diterimanya tidak tanggung-tanggung, mulai dari kisaran Rp. 2-3 juta sampai Rp. 5-10 juta. Bahkan Iman pernah menerima donasi sampai Rp. 30 juta.

Melihat banyaknya donasi yang ia terima, munculah ide untuk membentuk sebuah baitul mal bagi masjid di lingkungannya. Dengan SDM yang terbatas, baitul mal ini menggulirkan tiga program pemberdayaan masyarakat. Program pertama adalah pengembangan modal usaha. Yang kedua adalah bantuan keuangan bagi warga yang memiliki kebutuhan mendesak. Sedangkan program ketiga digulirkan dalam bentuk pinjaman ringan tanpa bunga untuk para dhuafa.

Menurut Ustadz Iman, salah seorang warga yang menikmati program pemberdayaannya adalah seorang ibu berusia kira-kira 70 tahun. Secara fisik, untuk berjalan saja ibu itu sudah kesulitan. Namun semangatnya untuk mencari nafkah masih sangat tinggi. Untuk berjualan kue, sang ibu biasanya meminjam sekitar Rp. 100 ribu. Lalu ia mencicil pinjamannya dari mulai Rp. 5 ribu sampai 10 ribu. Setelah lunas, ibu itu kemudian meminjam lagi.

Selain pemberdayaan ekonomi, lahan garapan Ustadz Iman adalah penyantunan biaya pendidikan untuk yatim dan dhuafa. Beliau menggagas program “Kencleng Dakwah“. Melalui program ini, kencleng disebarkan ke rumah-rumah warga di Kampung Sekeloa. Jangkauannya tidak tanggung-tanggung, sampai satu kelurahan. Beliau dibantu oleh pengurus masjid dan mahasiswa yang kost di sejumlah RW garapannya. Jargon program ini adalah “sehari seratus rupiah”. Dalam satu bulan, minimal dari satu rumah diperoleh dana sebesar Rp. 3.000,00. Bisa dibayangkan, dalam satu kelurahan berapa besar dana yang dapat dikumpulkan.

Mengembangkan SDM

Rupanya usaha Ustadz Iman tidak sia-sia. Saat ini, dari sekitar 80 orang anak yang Beliau bina dan santuni, 10 orang diantaranya terpilih untuk mengikuti program Anak Bangsa Ceria dari Rumah Amal Salman ITB. Pembinaan diniyah bagi anak-anak tersebut Beliau lakukan dua kali sepekan. Pembinaan wajib dilaksanakan Jumat ba’da magrib, yang biasanya diisi dengan pengajaran tahsin dan tahfidz. Iman dibantu oleh rekannya sesama Kader Bangkit, Ustadz Somantri.

Koordinator Kader Bangkit di Kampoeng Bangkit Sekeloa ini juga sangat mengharapkan bangkitnya remaja di kampungnya. Karena itu, Ustadz kerap menyelenggarakan acara-acara untuk membangun softskill dan hardskill remaja di sana. Kegiatan tersebut mulai dari outbound training,training sablon, sampai pelatihan merakit PC, yang biasanya diselenggarakan saat Ramadhan. “Itu pun komputernya pinjem dari kawan-kawan aktifis ataupun mahasiswa”, ujarnya. Tak jarang komputer pinjaman tersebut rusak setelah training, sehingga Beliau terpaksa menggantinya. Padahal training ini tidak memungut biaya sepeser pun.

Ketika ditanya mengapa harus mengadakan kegiatan-kegiatan seperti itu, Ustadz Iman menjawab bahwa Beliau iri dengan sesama Kader Bangkit di daerah pedesaan, yang dapat mengaplikasikan ilmunya di kebun atau di sawah. “Kalau Sekeloa yang di daerah perkotaan ya…… susah, paling gampang penguatan SDM dengan pelatihan seperti ini,” imbuhnya.

Ketika ditanya mengenai Gerakan Kampoeng Bangkit, Ustadz Iman menyatakan sangat menyambut baik. Menurutnya, konsep pemberdayaan Kampoeng Bangkit sangat ideal, apalagi dari aspek pendidikan. Setiap kelompok yang terdiri dari 10 anak didampingi oleh 5 orang pembimbing: 2 orang guru sukwan dan 3 orang guru mengaji. Memang awalnya masyarakat kebingungan dengan gerakan ini, maklumlah sosialisasinya belum sempurna. Namun setelah program-program Kampoeng Bangkit dilaksanakan di Sekeloa, respon masyarakat semakin positif.

Laki-laki yang menikah saat masih kuliah ini berharap, Gerakan Kampoeng Bangkit yang telah digulirkan Rumah Amal di Sekeloa dapat terus berkembang. Khususnya, Ustadz Iman berharap agar lebih banyak lagi siswa dhuafa yang bisa dibantu. Beliau bertekad, masa 3 tahun pendampingan Rumah Amal untuk Kampoeng Bangkit, dapat dijadikan sebagai modal untuk mengelola kampungnya ke depan. Membangun Sekeloa menjadi kampung yang kuat dan mandiri.[Arif]

Posting Komentar

0 Komentar