Heboh ungkapan Arteria Dahlan, anggota Komisi III DPR RI yang meminta salah satu Kajati ditindak tegas dengan diganti atau bisa diartikan diberhentikan karena berbahasa Sunda saat rapat telah menuai polemik dan kritik. Termasuk dari sesama anggota DPR RI. Kali ini kritik datang dari Ledia Hanifa Amaliah, anggota Komisi X DPR RI.
“Meuni lebay kitu si Oom Arteria Dahlan teh.. serius kalo kata saya mah, eta teh lebay, berlebihan…”
Anggota dewan dari dapil Kota Bandung dan Kota Cimahi ini sangat menyayangkan aksi ucap Arteria yang menurutnya berlebihan bahkan cenderung menyakitkan masyarakat utamanya warga suku Sunda.
Ledia kemudian menjelaskan bahwa kewajiban berbahasa Indonesia memang tercantum di dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang dijabarkan lebih lanjut dalam Perpres No 63 Tahun 2019 Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.
“Namun hal ini tentu tidak berarti penggunaan bahasa daerah yang hanya menjadi semacam penguat, penjelas, selipan, bukan penggunaan secara penuh sepanjang acara menjadi haram mutlak. Ibarat kata jatuhnya jadi makruh saja adanya tambahan-tambahan ungkapan bahasa daerah.” Katanya.
Bahkan pada Undang-Undang yang sama di pasal 42 jelas-jelas tercantum penghormatan, penghargaan dan perlindungan negara kepada bahasa daerah dengan menyatakan Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina,dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap
memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
“Jadi bahasa daerah dikembangkan, dilindungi sementara bahasa Indonesia wajib dipakai dalam rapat-rapat resmi, itu bukan sesuatu yang harus dipertentangkan. Kita tetap harus menyosialisasikan, membiasakan hingga kewajiban Undang-Undang ini menjadi sesuatu yang secara otomatis berlaku dalam kegiatan-kegiatan resmi sehari-hari.”
Aleg Fraksi PKS ini sendiri pernah mengingatkan Mendikbudristek yang berulang kali menggunakan ungkapan-ungkapan berbahasa Inggris dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI, akhir Januari 2020 lalu.
“Itu kan rapat resmi, maka saya ingatkan Mas Nadiem untuk berbahasa Indonesia sesuai aturan Undang-Undang. Mungkin karena beliau lama di luar negeri, ungkapan-ungkapan dalam bahasa Inggris jadi berkali-kali tercetus. Nah, konteks saya saat itu adalah mengingatkan beliau, agar terbiasa. Hasilnya, kini Mas Menteri sudah berbahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap rapat. Kalau ada sesekali tercetus ungkapan atau pilihan diksi bahasa Inggris, tentu wajar dan termaafkan.” Kenang Sekretaris Fraksi PKS ini lagi.
Bahkan, bila secara detil kita menelisik Undang-Undang No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan dan Perpres No 63 Tahun 2019 Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia ternyata soal penggunaan bahasa Indonesia yang menjadi wajib digunakan dalam 14 ranah kehidupan ini nyatanya tidak menempatkan adanya sanksi atas pelanggaran ketentuan tersebut.
Berbeda dengan aturan tentang bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan, yang secara jelas menyebutkan adanya sanksi pidana pada pelanggaran ketentuan-ketentuan yang ada, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia agaknya lebih menggunakan pendekatan persuasif edukatif.
“Jadi kalau ada pelanggaran maka yang pas itu ya diingatkan, dikasih tahu aturannya, secara informatif, persuasif dan edukatif. Kalau sampai minta diberhentikan, ditindak tegas, itu kan malah jadi melebihi ketentuan perundang-perundangan. Artinya ya berlebihan… lebay mun saur budak ngora jaman kiwari mah,” tutup Ledia
Hj. Ledia Hanifa Amaliah, S.Si, M. Psi.T
Anggota Fraksi PKS DPR RI/ A-427
Komisi X: Pendidikan Budaya Riset Teknologi, Pariwisata & Ekonomi Kreatif, Pemuda & Olahraga
0 Komentar